HALUAN.CO – Tragedi longsor yang menimpa kawasan tambang Galian C di Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kini berujung pada proses hukum.
Dua orang, yakni AK, Ketua Koperasi Al Azhariyah, dan AR, Kepala Teknik Tambang (KTT), ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga mengabaikan larangan operasi tambang dari pemerintah.
Akibat kelalaian tersebut, sebanyak 19 pekerja tambang dinyatakan tewas.
Kapolresta Cirebon, Kombes Sumarni, menyampaikan bahwa meskipun telah dilarang beroperasi oleh Dinas ESDM, kegiatan penambangan tetap dilakukan oleh para tersangka.
“Ini bukan sekadar abai, tapi bentuk pembangkangan hukum yang berujung maut,” katanya, Minggu (1/6/2025).
Peristiwa itu terjadi Jumat pagi (30/5/2025), sekitar pukul 10.00 WIB. Saat itu, penambangan batu tras masih berjalan meskipun Cabang Dinas ESDM Wilayah VII Cirebon telah melarang kegiatan tersebut.
Alasannya, koperasi sebagai pemegang IUP tidak memiliki RKAB sah untuk tahun 2025.
Namun, AK tetap menginstruksikan operasional tambang dan AR sebagai pengawas teknis menjalankan perintah tersebut.
Ketika para pekerja sedang menggali lereng menggunakan ekskavator, tiba-tiba terjadi longsor hebat yang menimbun area kerja. Hingga kini, 19 korban ditemukan meninggal dunia.
Polisi menemukan berbagai barang bukti, mulai dari alat berat seperti dump truck dan ekskavator yang tertimbun, hingga sejumlah dokumen penting.
Di antaranya SK IUP Operasi Produksi tertanggal 5 November 2020, surat larangan beroperasi tertanggal 6 Januari 2025, dan surat peringatan penghentian kegiatan tambang tertanggal 19 Maret 2025.
“Semua surat itu telah disampaikan ke pihak koperasi, namun mereka tetap menjalankan aktivitas penambangan,” terang Sumarni.
Selain itu, keabsahan peran AR sebagai KTT juga dipertanyakan.
Meski memiliki sertifikat, pengawasan teknis di lapangan sangat minim dan tidak sesuai standar keselamatan, tanpa sistem mitigasi, rambu peringatan, maupun evakuasi dini.
AK dan AR kini dijerat Pasal 98 ayat 1 dan 3 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Pasal 35 ayat 3 Jo. Pasal 186 UU No. 13 Tahun 2003 yang telah diperbarui melalui UU Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023).
Ancaman hukuman yang dihadapi mencakup penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp15 miliar.
“Tambang ini tidak seharusnya beroperasi, tapi mereka tetap melanjutkan dengan mengabaikan keselamatan dan hukum. Ini adalah hasil dari pembiaran yang terjadi secara sistematis,” tutup Kapolresta.
Kasus ini menegaskan urgensi kepatuhan terhadap peraturan di sektor tambang dan pentingnya penerapan standar keselamatan kerja yang ketat.
Proses hukum terhadap para tersangka diharapkan menjadi bentuk keadilan bagi korban serta peringatan tegas bagi pelaku usaha tambang lainnya di Indonesia.