Haluan.co – Proses hukum Kepala Desa Long Lame, Kecamatan Pujungan, Kabupaten Malinau yang telah berjalan sejak setahun lalu, kini mulai memberikan titik terang.
Sang Kades yang berinisial SU telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan korupsi penyalahgunaan Dana Desa tahun 2020 dari 2 kegiatan fiktif, yaitu memanipulasi laporan pertanggungjawaban dana desa fiktif kegiatan pembangunan rumah bagi warga miskin dan kegiatan pembangunan peningkatan lahan pertanian.
Atas perbuatannya tersebut, terdakwa perkara korupsi Dana Desa itu dituntut 6 setengah tahun pidana penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Samarinda pada Kamis (6/4/2023) lalu.
Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Fernando Sinaga memberikan tanggapannya terkait kasus korupsi dana desa yang dilakukan oleh oknum Kades Long Lame, Malinau.
Dalam siaran persnya pada Jumat (14/4/2023), anggota DPD RI yang berasal dari daerah pemilihan Provinsi Kalimantan Utara ini sangat menyesalkan kasus korupsi dana desa kembali terjadi di Kabupaten Malinau.
“Saya menyesalkan masih adanya Kades yang melakukan korupsi di Kabupaten Malinau. Ini tanggungjawab kita bersama untuk memperkuat pengawasan”, tegas anggota DPD RI yang berasal dari daerah pemiliha Provinsi Kalimantan Utara ini.
Menurutnya, pengawasan terintegrasi harus segera diwujudkan dan diberikan payung hukum di pemerintah pusat sehingga bisa menjadi pedoman bagi semua pihak di daerah untuk melakukan pengawasan terintegrasi terhadap dana desa.
“Sejak awal kita semua menyadari dana desa ini sangatlah rentan dengan korupsi. Maka dibutuhkan pengawasan terintegrasi, yaitu pengawasan bersama-sama Kemendes, Kemendagri dan Kemenkeu sesuai kewenangannya terkait output dan dampak dari setiap program yang didanai dana desa”, ungkapnya.
Fernando menjelaskan, pengawasan terintegrasi ini juga harus mampu mensinergikan pengawasan yang dilakukan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH).
Selain itu, masyarakat desa juga sangat diharapkan perannya dalam pengawasan berbasis masyarakat, misalnya secara rutin meminta dokumen-dokumen APBDes untuk memastikan apakah program dan penggunaan anggarannya sudah berjalan sesuai APBDes.
Fernando menambahkan, yang tak kalah penting adalah pengawasan yang dilakukan oleh para tenaga pendamping yang sesungguhnya menjadi bagian penting dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban dana desa.
“Apa yang saya ungkapkan ini harus dirumuskan oleh pemerintah di semua tingkatan dalam bentuk peta jalan pengawasan dana desa yang terintegrasi kemudian diberikan payung hukumnya. Menjelang 10 tahun pelaksanaan UU Desa pada 2024 yang akan datang ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk evaluasi total penagwasan dana desa agar 10 kedepan korupsi dana desa dapat ditekan seminimal mungkin”, tegas Fernando Sinaga.***