Jakarta – Dosen dari King Fahd University, Sumanto Al Qurtuby, mengungkapkan bahwa sejak runtuhnya Orde Baru, Indonesia telah mencatat 2.398 kasus intoleransi. Dari jumlah tersebut, 65 persen di antaranya dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan agama.
Sumanto menjelaskan bahwa pelaku intoleransi tidak terbatas pada kelompok tertentu. “Siapa saja bisa menjadi pelaku intoleransi,” ujarnya. Faktor utama yang menyebabkan intoleransi adalah keberadaan orang dengan agama berbeda di kawasan mayoritas agama tertentu. Bentuk tindakan intoleransi yang sering terjadi meliputi perusakan dan pelemparan tempat ibadah.
Menurut Sumanto, intoleransi sering kali menyerang paham pasifisme, yaitu paham yang menolak kekerasan terhadap sesama umat beragama maupun antarumat.
Sumanto menekankan bahwa pemangku kepentingan di Indonesia memiliki tanggung jawab yang sama untuk memperkuat paham pasifisme. “Paham pasifisme juga dipegang teguh oleh Paus Fransiskus dalam kesehariannya,” tambahnya.
Selain pasifisme, Sumanto juga menyoroti pentingnya pluralisme sebagai salah satu alasan terkuat untuk menghormati keragaman beragama di Indonesia. “Pluralisme tidak bisa disamakan dengan toleransi. Pluralisme adalah pemahaman yang lebih tinggi dari toleransi, yang menekankan pengetahuan dan interaksi dengan masyarakat,” jelasnya.
Penekanan pada pemahaman arti pasifisme dan pluralisme inilah yang akhirnya membentuk gereja Katolik dalam kerangka membangun fondasi perdamaian.
Pernyataan ini disampaikan Sumanto dalam dialog antar umat beragama yang diselenggarakan melalui Zoom meeting pada Selasa (23/7/2024) malam. Acara ini merupakan bentuk kerjasama antara IRRIKA Italia dengan KBRI Vatikan.
Pemimpin Agama Katolik Sedunia, Paus Fransiskus, dijadwalkan akan mengunjungi Indonesia pada awal September tahun ini. Paus ingin melihat bagaimana masyarakat Indonesia hidup dalam harmoni, meskipun berlatar belakang budaya dan agama yang beragam.