Jakarta – Kehidupan kelas menengah di Indonesia kian hari kian sulit. Bagi mereka yang berstatus pekerja formal, gaji bulanan yang minim kini habis hanya untuk membeli makanan. Daya beli yang semakin tertekan ini mengakibatkan roda perekonomian sulit bergerak, hingga banyak yang akhirnya turun kelas.
Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan era 2013-2014, Chatib Basri, mengungkapkan bahwa kondisi ini tercermin dari data Mandiri Spending Index (MSI). Data tersebut menunjukkan bahwa porsi pengeluaran untuk groceries atau bahan makanan meningkat dari 13,9% menjadi 27,4% dari total pengeluaran.
Chatib Basri menjelaskan bahwa data tersebut dapat dipahami secara sederhana: ketika pendapatan masyarakat turun, mereka akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokok seperti makanan. Jika pendapatan menurun sementara konsumsi makanan tetap, maka porsi konsumsi makanan dalam total pengeluaran akan meningkat.
Fenomena semakin tertekannya kemampuan belanja masyarakat Indonesia juga tergambar jelas dari munculnya fenomena “mantab” atau makan tabungan pada kelompok menengah bawah. Penjualan mobil mengalami penurunan, sementara penjualan motor naik.
Rentetan tekanan terhadap daya beli ini menurut Chatib tidak hanya disebabkan oleh pandemi Covid-19. Jumlah kelas menengah di Indonesia sudah terus merosot sejak 2019. Data Bank Dunia mengungkapkan bahwa pada 2018, kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk, sedangkan pada 2019 tersisa 21%, seiring dengan membengkaknya kelompok kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC) dari 47% menjadi 48%.
Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sekitar Rp 550.000, Chatib mengatakan bahwa mereka dengan pengeluaran Rp 1,9 juta-Rp 9,3 juta per bulan masuk kategori kelas menengah. AMC adalah kelompok dengan pengeluaran 1,5-3,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 825.000-Rp 1,9 juta. Adapun rentan miskin, yaitu kelompok dengan pengeluaran 1-1,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 550.000-Rp 825.000 per bulan.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty, mengatakan bahwa tidak terjaganya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, secara nyata membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di level 5%.
Telisa bahkan tidak segan mengatakan bahwa berbagai data saat ini membuktikan bahwa daya beli kelas menengah harus segera diselamatkan. Sebab, kelompok tersebut selama ini tidak mendapat porsi khusus di mata pemerintah, mulai dari tidak tercakupnya mereka dalam program bansos hingga angka inflasi yang terus menekan penghasilannya.