Jakarta – China berhasil memediasi dua kelompok Palestina, Hamas dan Fatah, dengan perjanjian “rekonsiliasi nasional” untuk Gaza pascaperang pada Selasa. Langkah ini segera memicu kemarahan Israel. Dalam update terbaru pada Rabu (24/7/2024), Tel Aviv dengan cepat mengutuk kesepakatan yang difasilitasi oleh Beijing tersebut.
Keterlibatan Hamas dalam pemerintahan Gaza pascaperang tidak dapat diterima oleh Israel dan Amerika Serikat (AS). Kedua negara tersebut menganggap Hamas sebagai kelompok teroris.
Perang yang telah berlangsung sejak Oktober 2023 ini telah menewaskan hampir 39.000 warga sipil.
China menjadi tuan rumah bagi pembicaraan antara pejabat senior Hamas, Musa Abu Marzuk, dan utusan Fatah, Mahmud al-Aloul, serta 12 faksi Palestina lainnya. Anggota politbiro Hamas, Hossam Badran, menggambarkan keterlibatan China sebagai cara untuk melawan pengaruh AS.
Teks perjanjian Beijing menguraikan rencana untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional berdasarkan persetujuan faksi-faksi Palestina yang akan menjalankan otoritas dan kekuasaannya atas seluruh wilayah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur yang dianeksasi Israel.
Kepresidenan Palestina menyambut baik dukungan China untuk gencatan senjata segera, termasuk masuknya bantuan dari negeri Xi Jinping ke Gaza serta dukungannya terhadap upaya diplomatik Palestina lainnya.
Sementara itu, serangan Israel masih terus berlanjut. Di lapangan, Israel memerintahkan warga sipil untuk mengevakuasi diri dari sebagian wilayah Khan Yunis, yang telah dinyatakan sebagai bagian dari zona aman kemanusiaan. Jet-jet tempur Israel menggempur kota tersebut pada Senin.
Militer Israel enggan memberi keterangan kepada wartawan. Namun, dalam sebuah pernyataan, badan tersebut mengklaim bahwa pesawat-pesawat tempur dan tank-tank mereka menyerang dan melenyapkan teroris di daerah tersebut.
Perang telah menghancurkan sistem layanan kesehatan di Gaza. Rumah sakit berada di bawah tekanan yang sangat besar, dengan banyaknya korban yang membutuhkan perawatan medis.