Jakarta – Egi Primayogha, Koordinator Divisi Korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), mengungkapkan adanya perubahan mencolok dalam praktik mahar politik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Menurut Egi, mahar politik kini tidak hanya digunakan untuk mendapatkan tiket pencalonan, tetapi juga untuk menjegal calon lain yang akan bersaing.
Praktik mahar politik yang bertujuan untuk menjegal pencalonan seseorang berpotensi besar menciptakan situasi di mana Pilkada hanya memiliki satu calon tunggal. Jika hanya ada satu calon, maka Pilkada tetap harus berlangsung, dan publik dihadapkan pada pilihan antara calon tunggal atau kotak kosong.
Egi menegaskan bahwa fenomena calon tunggal dan Pilkada melawan kotak kosong merupakan kondisi yang tidak sehat bagi demokrasi. Menurutnya, hal ini mengurangi kualitas kompetisi politik dan merugikan proses demokrasi yang seharusnya memberikan pilihan yang beragam kepada masyarakat.
Egi juga mempertanyakan peran partai politik dalam konteks ini. Sebagai kendaraan bagi calon kepala daerah yang dipilih oleh publik, partai politik seharusnya bersaing untuk memberikan kandidat terbaik. Namun, kenyataannya, partai politik justru memanfaatkan potensi calon tunggal dan kotak kosong untuk mengamankan posisi politik mereka.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, turut memberikan pandangannya. Ia menyatakan bahwa dalam fenomena ini, partai politik kehilangan daya tawar kepada publik. Partai politik seharusnya berperan aktif dalam menyediakan pilihan yang berkualitas bagi pemilih, bukan sebaliknya, memanfaatkan situasi untuk keuntungan politik semata.