Jakarta – Analis Sistem Ketenagakerjaan dan Energi Terbarukan dari Institute for Essential Service Reform (IESR), Alvin Putra S, menyatakan bahwa permintaan energi surya di dalam negeri masih tergolong rendah. Menurut Alvin, rendahnya permintaan ini menjadi salah satu faktor utama yang menghambat investor untuk membangun pabrik atau industri modul surya di Indonesia.
Alvin menjelaskan bahwa pencapaian terhadap target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dalam tiga tahun terakhir tidak pernah mencapai lebih dari 50 persen. Bahkan, pada tahun 2023, hanya 33 persen dari target yang tercantum dalam RUPTL yang berhasil dicapai.
Alvin merujuk pada peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait relaksasi Tingkat Kandungan Komponen Dalam Negeri (TKDN). Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hanya mencapai angka 20 persen.
Selain itu, Alvin juga menekankan pentingnya pemberian insentif fiskal maupun nonfiskal oleh pemerintah untuk meningkatkan daya saing produk energi surya lokal. Menurutnya, langkah ini sangat diperlukan agar produk energi surya dalam negeri dapat bersaing di pasar global.
Pemerintah telah memberikan relaksasi penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang direncanakan beroperasi secara komersial paling lambat tanggal 30 Juni 2026. Kebijakan ini sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Ketentuan relaksasi ini diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Secara khusus, aturan ini tercantum pada pasal 19.