Jakarta – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa pihaknya telah meningkatkan jumlah alat pendeteksi sensor gempa untuk mengantisipasi ancaman gempa berkekuatan besar di zona megathrust. Saat ini, jumlah sensor gempa yang tersebar di seluruh Indonesia mencapai 530 unit, meningkat drastis dari sebelumnya hanya 176 unit sebelum tahun 2019.
Menurut Dwikorita, peningkatan jumlah sensor gempa ini tidak lepas dari ‘trauma’ masa lalu ketika gempa dahsyat mengguncang Aceh pada tahun 2004. Gempa yang bersumber dari zona Megathrust Andaman-Sumatera tersebut memiliki kekuatan hingga Magnitudo 9,3 dan memicu tsunami yang menelan hampir 170 ribu korban jiwa.
Berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017, terdapat setidaknya 13 megathrust yang mengepung Indonesia. Beberapa di antaranya mengalami pecah segmen, membentuk segmen baru seperti Segmen Mentawai yang dibagi menjadi Segmen Mentawai-Siberut dan Segmen Mentawai-Pagai. Selain itu, ada juga segmen Jawa yang dibagi menjadi tiga segmen yaitu Segmen Selat Sunda-Banten, Segmen Jawa Barat, dan Segmen Jawa Tengah-Jawa Timur.
Saat ini, ada dua segmen megathrust yang “tinggal menunggu waktu” untuk melepas energi besarnya, yakni zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Kedua segmen ini masuk dalam zona seismic gap, yaitu zona sumber gempa potensial yang belum terjadi gempa besar dalam puluhan hingga ratusan tahun terakhir. Zona ini diduga sedang mengalami proses akumulasi medan tegangan atau stress kerak Bumi.
Megathrust Selat Sunda memiliki panjang 280 km, lebar 200 km, dan pergeseran (slip rate) 4 cm per tahun. Menurut catatan BMKG, gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada tahun 1757, dengan usia seismic gap mencapai 267 tahun. Sementara itu, Megathrust Mentawai-Siberut memiliki panjang 200 km, lebar 200 km, dan slip rate 4 cm per tahun. Gempa besar terakhir di zona ini terjadi pada tahun 1833 dengan kekuatan Magnitudo 8,9.