Jakarta – Intel, raksasa teknologi yang telah berdiri selama lebih dari setengah abad, kini tengah menghadapi badai finansial terberat dalam sejarahnya. Perusahaan ini sedang berjuang keras mencari jalan keluar, termasuk meminta nasihat dari penasihat keuangan ternama seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs.
Dalam upaya mengatasi krisis ini, Intel mempertimbangkan berbagai opsi, termasuk memisahkan divisi desain produk dan manufaktur. Selain itu, perusahaan juga siap mengambil langkah-langkah drastis seperti memangkas belanja modal dan membatalkan rencana pembangunan pabrik baru.
Tidak hanya itu, Intel juga mulai mempertimbangkan opsi merger dan akuisisi sebagai salah satu cara untuk keluar dari krisis ini. Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi oleh perusahaan asal Silicon Valley tersebut.
Krisis ini muncul setelah Intel merilis laporan keuangan yang dianggap memalukan, menyebabkan saham perusahaan anjlok ke titik terendah sejak tahun 2013. Meskipun saham Intel sempat naik 6,5% sejak awal tahun, namun langsung merosot 60% setelah laporan keuangan tersebut dirilis.
Penurunan saham Intel ini menjadi pil pahit bagi para pemegang saham, terutama karena Philadelphia Semiconductor Index, yang menjadi standar industri, justru meningkat 20% pada periode yang sama. Hal ini menambah tekanan bagi Intel untuk segera menemukan solusi.
Pada kuartal terakhir, Intel mencatatkan kerugian bersih sebesar USD 1,61 miliar. Analis memprediksi bahwa penurunan ini akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2024. Bahkan, Amir Anvarzadeh, Strategist Market dari Asymmetric Advisors, menyebut bahwa model bisnis Intel kini sudah rusak.
Dalam beberapa minggu ke depan, Intel diperkirakan akan memformulasi rencana untuk menghadapi krisis ini dan mempresentasikannya kepada dewan direksi sebelum bulan September berakhir. Langkah ini diharapkan dapat memberikan arah yang jelas bagi perusahaan untuk keluar dari krisis keuangan yang melanda.