Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa berada di bawah 5 persen jika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun depan.
Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, menyatakan bahwa kenaikan PPN akan semakin menekan daya beli masyarakat, terutama konsumsi kelas menengah. Menurut Eko, meskipun PPN belum naik menjadi 12 persen, konsumsi rumah tangga sudah menunjukkan penurunan. Sebelum pandemi COVID-19, konsumsi rumah tangga minimal tumbuh 5 persen secara kuartalan, namun pasca pandemi, pertumbuhan konsumsi hanya mencapai 4,9 persen.
Eko menekankan bahwa meskipun penurunan hanya sebesar 0,1 persen, tren ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah.
Dalam Pasal 7 beleid tersebut, ditetapkan bahwa tarif PPN sebesar 11 persen berlaku mulai 1 April 2022, naik dari sebelumnya 10 persen. Kemudian, tarif ini akan naik lagi sebesar 1 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan. Kebijakan ini diambil sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pajak.
Kenaikan PPN ini diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat. Dengan meningkatnya tarif PPN, harga barang dan jasa akan naik, yang pada gilirannya dapat mengurangi konsumsi rumah tangga. Hal ini menjadi perhatian utama karena konsumsi rumah tangga merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pasca pandemi COVID-19, ekonomi Indonesia masih dalam tahap pemulihan. Meskipun beberapa sektor telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan, tantangan masih ada, terutama dalam hal daya beli masyarakat. Kenaikan PPN ini dapat menjadi beban tambahan bagi masyarakat yang masih berjuang untuk pulih dari dampak ekonomi pandemi.
INDEF merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN ini. Menurut Eko, pemerintah perlu mencari alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa harus menekan daya beli masyarakat.