Jakarta – Ekonom Senior dan mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2015-2020, Fauzi Ichsan, menyatakan bahwa Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang akan disahkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada 19 September 2025, memberikan ketenangan bagi pelaku pasar keuangan.
Menurut Fauzi, defisit APBN yang ditetapkan untuk pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto masih berada dalam batasan yang diatur oleh Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu di bawah 3%. Defisit tersebut tepatnya berada di level 2,53% dari produk domestik bruto (PDB), jauh di bawah perkiraan realisasi defisit APBN 2024 yang sebesar 2,8% dari PDB.
Fauzi Ichsan menjelaskan bahwa sebelum adanya kesepakatan antara pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR yang menetapkan defisit APBN sebesar Rp 616,86 triliun atau 2,53% terhadap PDB, terdapat indikasi kekhawatiran dari pelaku pasar keuangan atau investor bahwa defisit APBN akan membengkak melampaui batas aman.
Kekhawatiran ini dipicu oleh beberapa program yang diusung oleh Prabowo Subianto yang berpotensi membuat belanja negara jauh lebih tinggi dari kemampuan mengumpulkan penerimaan. Program-program tersebut termasuk kelanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan implementasi janji kampanye berupa program Makan Bergizi Gratis.
Dengan adanya komitmen untuk menjaga defisit fiskal, Fauzi menekankan bahwa seharusnya tidak ada alasan bagi investor dan pelaku pasar keuangan untuk masih wait and see dalam berinvestasi di Indonesia. Terlebih lagi, tren suku bunga kebijakan bank sentral yang diperkirakan akan terus turun hingga akhir tahun ini dan tahun depan ke level rendah.
Namun demikian, Fauzi Ichsan menekankan bahwa untuk menjaga optimisme investor, pemerintah dan otoritas moneter perlu membenahi berbagai hal di sektor mikro guna menjaga stabilitas usaha. Sektor mikro ini harus menjadi sorotan untuk perbaikan ekonomi karena kebijakan makro tidak bisa serta merta membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih kencang dari 5%, atau bahkan mencapai target Prabowo di level 8%.
Fauzi berpendapat bahwa kebijakan makro seperti penurunan suku bunga acuan dan kebijakan fiskal memiliki ruang terbatas untuk menggeliatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Oleh karena itu, kebijakan mikro yang terus mendorong laju pertumbuhan harus menjadi fokus utama ke depan.