Jakarta – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, menyampaikan pandangannya bahwa survei mengenai kepuasan publik terhadap demokrasi tidak dapat dijadikan patokan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Menurut Mahfud, masyarakat belum sepenuhnya memahami hakikat demokrasi yang sebenarnya. Mereka cenderung hanya memahami demokrasi dari sisi prosedural, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka.
Mahfud menegaskan bahwa survei tidak dapat dijadikan acuan karena selama ini masyarakat menganggap demokrasi berjalan dengan baik. Namun, dari sudut pandang demokrasi yang lebih mendalam, kondisi tersebut sebenarnya tidak sebaik yang dipersepsikan oleh masyarakat.
Mahfud berpendapat bahwa perbaikan demokrasi seharusnya difokuskan pada kalangan elite dan kaum terdidik. Namun, ia menyoroti bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering kali menjadi pihak yang merusak demokrasi. Menurutnya, DPR tidak memiliki keinginan untuk memperbaiki sistem demokrasi yang ada.
Dalam pengamatannya, Mahfud mencatat bahwa perbaikan demokrasi di Indonesia sering kali terjadi setelah adanya momentum besar. Sebagai contoh, ketika Orde Baru runtuh, muncul semangat reformasi yang mendorong perbaikan demokrasi. Selama lima hingga enam tahun setelah itu, banyak produk hukum progresif yang dihasilkan. Namun, Mahfud merasa heran mengapa setelah periode tersebut, upaya perbaikan demokrasi seolah terhenti.
Beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa masyarakat merasa puas dengan demokrasi dan kinerja institusi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat bahwa pada awal Februari 2024, sebanyak 71,8 persen masyarakat menyatakan puas terhadap kinerja demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, Indikator Politik melaporkan bahwa mayoritas publik menilai kinerja penegak hukum berjalan baik di akhir masa pemerintahan Jokowi. Sebanyak 2,5 persen responden meyakini penegakan hukum berjalan sangat baik, dan 39,3 persen menilai berjalan baik. Namun, 33,7 persen responden menilai kinerja penegakan hukum sedang, 19,9 persen menilai buruk, dan 2,9 persen menilai sangat buruk.