Jakarta – Dalam lanskap pendidikan tinggi Indonesia, Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) kini menjadi sorotan utama. Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran, mengungkapkan bahwa kampus-kampus di seluruh negeri sedang giat mengimplementasikan kurikulum MBKM. Kebijakan ini menuntut setiap program studi untuk memangkas 20 satuan kredit semester (SKS) atau jam kuliah demi mengakomodasi program tersebut.
Susi menekankan bahwa mahasiswa adalah kelompok intelektual yang memegang peranan vital dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Pendidikan yang mereka terima di perguruan tinggi bertujuan untuk menumbuhkan pemikiran dan sikap kritis terhadap berbagai isu. Menurutnya, pembangunan demokrasi memerlukan warga yang kompeten dan terdidik, dan kaum intelektual adalah pilar yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan ini.
Namun, Susi mengkritisi bahwa pendidikan kaum intelektual saat ini terhambat oleh adanya program MBKM. Meskipun kaum intelektual dapat berperan aktif di masyarakat melalui pengajaran dan sekolah aktivis, kebijakan MBKM dianggap mengurangi kesempatan tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik, menyatakan bahwa masyarakat Indonesia cenderung terlalu menerima dan kurang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Ia menyoroti bahwa banyak pelayanan publik dan kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tepat.
Burhanuddin mengaitkan pandangan ini dengan hasil survei World Happiness Report 2024 yang menempatkan Indonesia sebagai negara kedua paling bahagia di dunia. Namun, ia menilai bahwa pandangan tersebut tidak terlepas dari tingkat pendidikan masyarakat. Data terbaru menunjukkan bahwa 57 persen masyarakat hanya menamatkan pendidikan hingga sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP), bahkan ada yang tidak bersekolah sama sekali.
Menurut Burhanuddin, masyarakat cenderung melihat demokrasi dari sudut pandang ekonomi. Selama ekonomi berjalan baik, demokrasi dianggap baik pula. Ukuran ekonomi ini seringkali hanya sebatas ada atau tidaknya inflasi.
Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, menambahkan bahwa survei kepuasan rakyat terhadap demokrasi tidak bisa dijadikan acuan untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Menurutnya, rakyat tidak memahami substansi demokrasi dan hanya memahami demokrasi secara prosedural, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka.
Mahfud lebih setuju jika perbaikan demokrasi dilakukan pada tingkat elite dan kaum terdidik. Namun, ia mengkritik bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seringkali dianggap sebagai pihak yang merusak demokrasi dan tidak memiliki keinginan untuk memperbaikinya.