Jakarta – Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Indonesia, mengemukakan pandangannya tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini berada di angka 5 persen. Menurutnya, angka tersebut hanyalah ilusi di atas kertas yang tidak mencerminkan dampak nyata bagi perekonomian domestik.
Kalla menggambarkan situasi ini layaknya sebuah perusahaan dengan neraca keuangan yang tampak sehat, namun sebenarnya mengalami masalah likuiditas dan dibebani utang yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi terlihat positif, kenyataannya tidak memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Jusuf Kalla menilai bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang diusung oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto hanyalah sebuah angan-angan. Ia berpendapat bahwa jika pertumbuhan 5 persen saja tidak mencerminkan pertumbuhan yang sesungguhnya, maka target yang lebih tinggi akan sulit untuk dicapai.
Menurut Kalla, pertumbuhan ekonomi yang tidak nyata ini dapat dilihat dari kinerja ekspor Indonesia. Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya surplus, namun keuntungan dari ekspor tersebut tidak dirasakan di dalam negeri. Sebaliknya, keuntungan tersebut lebih banyak mengalir ke negara lain, terutama dari sektor komoditas Sumber Daya Alam (SDA).
Sebagai solusi, Jusuf Kalla pernah mengusulkan agar sistem ekspor Indonesia diubah mengikuti model yang diterapkan oleh Malaysia dan Thailand. Dalam sistem ini, hasil ekspor diterima dalam mata uang lokal seperti ringgit dan baht, sehingga dapat memberikan manfaat langsung bagi perekonomian dalam negeri.
Namun, hingga saat ini, usulan tersebut belum diimplementasikan. Akibatnya, devisa hasil ekspor Indonesia terus mengalir ke luar negeri, mengurangi potensi manfaat yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia.