Jakarta – Dr. Muhammad Arif Setiawan, seorang cendekiawan hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), mengemukakan pandangannya mengenai kasus Mardani H Maming yang dianggap sebagai kekeliruan peradilan akibat penetapan status tersangka tanpa adanya bukti awal yang jelas.
Kasus yang melibatkan mantan Ketua Umum BPP HIPMI ini menjadi sorotan karena dianggap tidak mengikuti proses dan prosedur hukum yang benar. Dr. Arif Setiawan menyoroti bahwa penetapan tersangka dalam kasus ini dilakukan tanpa adanya bukti awal yang memadai.
“Bagaimana mungkin menetapkan seseorang sebagai tersangka pembunuhan jika bukti kematiannya saja belum ada?” ujarnya dalam sebuah talk show di CNN.
Dalam kasus ini, Mardani H Maming ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi meskipun belum ada kepastian mengenai audit kerugian negara. Dr. Arif, sebagai ahli hukum acara pidana, menegaskan bahwa kasus seperti ini seharusnya bersifat materil, yang berarti harus ada kerugian negara yang jelas sebelum penetapan tersangka dilakukan.
“Jika tidak ada pembuktian yang kuat, maka tidak bisa dipaksakan. Ada hukum pembuktian yang harus diikuti,” tegasnya.
Dr. Arif menjelaskan bahwa dalam tuduhan suap, harus ada dua pihak yang terlibat, yaitu pemberi dan penerima. Dalam pembuktian kasus ini, seharusnya ditemukan kesepahaman antara kedua belah pihak. Namun, dalam kasus Mardani H Maming, pihak penerima tidak dapat dibuktikan menerima suap.
“Bagaimana cara membuktikannya jika pihak pemberi sudah tidak ada?” tanyanya.
Menurut Dr. Arif, pasal yang disangkakan kepada Mardani H Maming tidak dapat dibuktikan apakah yang bersangkutan benar-benar menerima hadiah atau mengeluarkan surat keputusan terkait Izin Usaha Pertambangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai dasar hukum yang digunakan dalam penetapan status tersangka.
Kasus Mardani H Maming ini menyoroti pentingnya mengikuti prosedur hukum yang benar dan adanya bukti permulaan yang jelas sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Ketiadaan bukti yang kuat dan audit kerugian negara yang belum pasti menimbulkan keraguan terhadap keabsahan penetapan tersangka dalam kasus ini. Dr. Arif Setiawan menekankan bahwa hukum pembuktian harus menjadi landasan utama dalam setiap proses peradilan untuk menghindari kesesatan hukum yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat.