Jakarta – Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi ketika sebuah pesawat jet milik Spirit Airlines yang sedang menuju ibu kota Haiti, Port-au-Prince, terkena tembakan. Dalam insiden tersebut, seorang pramugari mengalami luka ringan. Kejadian ini menambah daftar panjang tantangan keamanan yang dihadapi oleh negara Karibia tersebut.
Menurut laporan dari AFP pada Selasa (12/11/2024), penerbangan 951 dari Fort Lauderdale, Florida, ke Port-au-Prince terpaksa dialihkan dan berhasil mendarat dengan selamat di Republik Dominika. Pemeriksaan di darat mengungkapkan bahwa kerusakan pada pesawat disebabkan oleh tembakan. Akibat insiden ini, maskapai Spirit Airlines memutuskan untuk menangguhkan layanan ke Haiti sambil menunggu evaluasi lebih lanjut.
Port-au-Prince, ibu kota Haiti, dikenal sebagai wilayah yang dikuasai oleh kelompok bersenjata. Berdasarkan laporan dari BBC, kelompok-kelompok ini menguasai sekitar 60 persen area ibu kota dan sekitarnya. Kota yang padat penduduk ini dibagi menjadi zona hijau, kuning, dan merah, yang masing-masing menunjukkan tingkat keamanan yang berbeda. Zona hijau dianggap bebas geng, zona kuning bisa aman hari ini namun berbahaya esok hari, sementara zona merah adalah area terlarang. Sayangnya, area hijau semakin menyusut seiring dengan meningkatnya cengkeraman geng-geng bersenjata.
Setelah insiden penembakan tersebut, pesawat yang mengalami kerusakan dihentikan sementara. Spirit Airlines mengatur agar penumpang dikembalikan ke Fort Lauderdale pada Senin (18/11). Selain itu, bandara di Port-au-Prince telah menghentikan semua operasional penerbangan komersial. American Airlines juga mengumumkan penangguhan layanan penerbangannya antara Miami dan ibu kota Haiti hingga Kamis (14/11).
Insiden penembakan ini terjadi di tengah situasi politik yang tidak stabil di Haiti. Negara ini sedang bersiap melantik perdana menteri baru di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam akan menjerumuskan negara yang sudah dilanda krisis ini ke dalam kekacauan baru. Dewan transisi Haiti telah bergerak untuk mengganti Perdana Menteri Garry Conille. Keputusan dewan yang beranggotakan sembilan orang ini, yang tertanggal untuk dipublikasikan pada Senin, 11 November, berupaya untuk menyingkirkan Conille setelah hanya lima bulan menjabat dan menggantinya dengan pengusaha Alix Didier Fils-Aime.
Dewan transisi tersebut adalah badan baru yang tidak tercantum dalam konstitusi dan tidak disetujui oleh parlemen, karena Haiti tidak memiliki badan legislatif yang sedang menjabat. Negara ini tidak menyelenggarakan pemilihan umum sejak tahun 2016, yang memperlebar kekosongan politik. Akibatnya, krisis keamanan dan kesehatan yang ada semakin memburuk, menambah beban bagi rakyat Haiti yang sudah menderita.