Jakarta – Di era digital saat ini, teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) menjadi sebuah keniscayaan. Namun, banyak organisasi yang masih menghadapi kesulitan dalam mengadopsi AI dan mencari cara untuk mengatasi tantangan yang ada di depan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Searce, sebuah perusahaan konsultan teknologi, adopsi AI menawarkan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan bisnis dan return of investment (ROI) jangka panjang. Namun, tingkat keberhasilan inisiatif AI sering kali tidak sepenuhnya optimal. Hanya 51% responden yang menyatakan bahwa inisiatif AI mereka “sangat berhasil”, sementara 42% lainnya mengatakan “agak berhasil”. Selain itu, sekitar 61% responden yang “sangat setuju” jika organisasi mereka melihat AI sebagai prioritas khusus.
Meskipun ada tantangan terkait ROI, seperempat responden berencana untuk meningkatkan investasi di bidang AI hingga lebih dari 50% pada tahun 2024 dan tahun-tahun mendatang. Hanya 8% responden yang berencana meningkatkan investasi hingga 100% atau lebih. Ketika ditanya tentang alokasi pendapatan untuk inisiatif AI pada tahun 2024, seperempat responden menyatakan akan membelanjakan antara $11-25 juta, dan 7% lainnya akan mengalokasikan lebih dari $25 juta.
Penelitian ini juga mengidentifikasi hambatan utama bagi organisasi yang ingin mengadopsi AI. Tiga hambatan terbesar yang disebutkan oleh responden adalah privasi data (45%), penggunaan teknologi lama (40%), dan kurangnya sumber daya yang berkualitas (40%). Tantangan ini berbeda untuk setiap bisnis, sehingga penting bagi organisasi untuk menemukan mitra yang dapat membantu mereka berinovasi.
GenAI tetap menjadi inisiatif utama bagi banyak organisasi saat ini. Sebesar 70% responden menyatakan bahwa mereka mempunyai setidaknya tiga proyek bisnis yang memakai GenAI dalam produksi. GenAI dipakai untuk membantu layanan pelanggan (68%), penelitian internal (60%), dan membuat konten (53%).
Hampir dua pertiga (63%) organisasi telah membeli solusi AI yang sudah ada di pasar untuk memenuhi kebutuhan teknologi mereka, dibandingkan membangunnya secara internal. Selain itu, 54% mengatakan bahwa mereka telah membeli solusi yang tersedia di pasar dan bermitra dengan pihak lain untuk layanan terkait. Hanya 9% yang menggunakan sumber daya internal untuk menjalankan bisnis.
Laporan State of AI 2024 ini didasarkan pada survei terhadap 300 eksekutif teknologi senior dan C-suite, termasuk Chief AI Officer, Chief Data & Analytics Officer, Chief Transformation Officer, dan Chief Digital Officer dari berbagai organisasi global di Amerika Serikat dan Inggris dengan pendapatan setidaknya USD 500 juta.
Bene menyebutkan bahwa adopsi AI di kedua negara maju ini dapat menjadi acuan bagi Indonesia dalam mengimplementasikan teknologi terbaru. Dengan belajar dari pengalaman AS dan Inggris, Indonesia dapat mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh AI untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi di masa depan.