Seoul – Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, menegaskan tekadnya untuk bertahan “hingga detik terakhir” di tengah penyelidikan yang menjeratnya dengan tuduhan pemberontakan. Tuduhan ini mencuat setelah keputusan kontroversialnya menetapkan darurat militer pekan lalu. Yoon menyatakan bahwa oposisi, yang saat ini menguasai parlemen, bertindak layaknya raksasa yang mengancam kestabilan negara.
Yoon membela langkahnya yang mengejutkan banyak pihak, yaitu menetapkan darurat militer dan mengerahkan pasukan ke gedung parlemen. Keputusan ini memicu protes besar-besaran dari warga Korea Selatan yang menuntut pengunduran dirinya. Namun, Yoon tampaknya tetap teguh pada posisinya dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Di tengah tekanan politik yang semakin meningkat, Yoon juga menghadapi ancaman pemakzulan dari Majelis Nasional yang didominasi oleh partai oposisi. Meskipun berhasil lolos dari pemakzulan akhir pekan lalu berkat boikot dari partai berkuasa, ancaman tersebut masih membayangi. Yoon kini ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pemberontakan dan penyalahgunaan kekuasaan terkait insiden darurat militer pada 3-4 Desember lalu. Selama penyelidikan berlangsung, Yoon dilarang bepergian ke luar negeri.
Penyelidikan terhadap Yoon dan lingkaran dalamnya diwarnai ketegangan. Tim kepolisian yang berusaha menggeledah kantor kepresidenan dihadang oleh pengawal presiden. Selain itu, kepolisian mengeluhkan akses yang sangat terbatas terhadap dokumen yang disediakan oleh staf Yoon. Partai Demokrat Korea, sebagai oposisi utama, mengancam akan mengajukan aduan pemberontakan terhadap staf dan pengawal presiden jika mereka terus menghalangi proses hukum.
Dalam pernyataannya pada Kamis (12/12), Yoon menegaskan bahwa dirinya tidak akan menghindar dari tanggung jawab hukum dan politik terkait penerapan darurat militer. Namun, ia juga menuduh oposisi bertindak seperti monster yang telah mendorong Korea Selatan ke dalam “krisis nasional”.