Jakarta – Dengan keahlian yang tak tertandingi, Barry Jenkins berhasil mengubah Mufasa: The Lion King menjadi sebuah tontonan yang patut dinikmati, meskipun urgensinya dalam saga The Lion King masih menjadi perdebatan. Jenkins mampu menemukan keseimbangan yang tepat antara mengeksplorasi cerita Mufasa melalui imajinasi, sambil menjaga agar kisah legendaris Raja Pride Lands ini tidak menyimpang jauh dari film sebelumnya.
Mufasa: The Lion King bukanlah debut Barry Jenkins, yang sebelumnya dikenal luas melalui karyanya di Moonlight (2016). Namun, film ini jelas memberikan tantangan baru karena menjadi film blockbuster pertama yang ia garap. Tantangan tersebut semakin besar karena Mufasa menargetkan anak-anak sebagai pasar utamanya. Ditambah lagi, kesuksesan box office The Lion King (2019) sebagai film animasi terlaris kedua sepanjang masa dengan pendapatan US$1,65 miliar menjadi tolok ukur yang harus dihadapi.
Berbagai pertaruhan tersebut dijawab melalui berbagai elemen yang ditampilkan dalam Mufasa: The Lion King. Salah satu aspek yang paling mencolok adalah visualnya. Mufasa yang kembali dikemas dalam format animasi photorealistic mampu mempertahankan nuansa megah. Aliran realisme ini menghasilkan gambar visual yang tajam, baik saat menampilkan berbagai karakter hewan maupun pemandangan alam Pride Lands. Eksekusi visual yang memukau ini bukanlah hal baru, mengingat The Lion King juga menghasilkan gambar serupa. Namun, ada nuansa berbeda yang terlihat dari kedua film, kemungkinan besar karena Mufasa: The Lion King dikerjakan oleh sutradara dan sinematografer baru.
Aspek cerita juga patut menjadi sorotan. Film ini masih ditulis oleh Jeff Nathanson, penulis naskah The Lion King. Nathanson juga menambahkan kisah cerita sang ayah untuk memperluas semesta Simba. Ada usaha dari Nathanson dan Jenkins untuk membuat cerita Mufasa terdengar otentik tanpa merusak pendahulunya. Mereka memusatkan cerita pada Mufasa (Aaron Pierre) dan Taka (Kelvin Harrison Jr.) yang nantinya menjadi Scar. Deretan karakter baru diperkenalkan, mulai dari Kiara (Blue Ivy Carter), putri Simba, hingga Kiros (Mads Mikkelsen) yang menjadi pemimpin kawanan singa putih dan villain utama.
Narasi perjalanan Mufasa menjadi raja juga kontras dengan perjalanan Simba menggantikan ayahnya di takhta Pride Lands. Pertaruhan yang dihadapi Simba berkisar pada menghadapi rasa takut hingga penebusan rasa bersalah. Sementara itu, Mufasa justru membahas soal rasa dengki hingga pembuktian seorang pemimpin. Mufasa: The Lion King juga menambahkan cerita cinta segitiga antara Mufasa, Taka, dan Sarabi (Tiffany Boone). Cinta segitiga ini menjadi bumbu yang memicu puncak konflik pada babak ketiga cerita. Meskipun subplot ini mungkin kurang pas atau sulit dipahami oleh anak-anak, bagian ini cukup krusial untuk membakar rasa cemburu di antara saudara angkat tersebut.
Catatan lain yang perlu diperhatikan adalah efektivitas karakter baru dalam Mufasa: The Lion King. Kehadiran Kiros dan kawanannya sebagai musuh yang memburu Mufasa dan Taka tidak begitu mencekam. Mereka hanya sesekali mengancam, kemudian justru menghabiskan waktu mengejar jejak dari rombongan Mufasa. Kiros Cs bahkan terlihat malu-malu karena tidak destruktif maupun menunjukkan auranya sebagai raja hutan. Dengan catatan ini, Barry Jenkins masih bisa lebih dalam mengeksplorasi konflik cerita. Namun, untuk menjaga cerita yang ramah bagi kalangan anak-anak, langkah itu terlihat diperhalus.
Mufasa: The Lion King juga mengenalkan Kiara, anak Simba sekaligus cucu Mufasa. Keberadaan Kiara diperkirakan akan signifikan karena film ini mengusung alur maju mundur. Namun, ia ternyata tidak lebih dari pembuka gerbang cerita Mufasa pada masa lalu. Kiara hanya sesekali tampil bersama Rafiki, Pumbaa, dan Timon untuk menjembatani peralihan fase hidup Mufasa. Kemunculan Kiara pada masa kini terbantu berkat sentuhan komedi dari Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen). Mereka berhasil menghadirkan celetukan mengocok perut, bahkan sempat memberi sentuhan ala breaking the fourth wall.
Kesegaran lain juga datang dari musik latar Mufasa: The Lion King yang menampilkan lagu-lagu baru. Lin-Manuel Miranda, penulis lagu langganan Disney, kembali digaet. Karya terbaru dari Lin-Manuel Miranda ini seperti melengkapi nyawa Mufasa: The Lion King sebagai rilisan Disney. Namun, rasanya terlalu dini untuk membandingkan soundtrack Mufasa dengan Circle of Life hingga Hakuna Matata. Bukan hanya lagu, keberhasilan Mufasa: The Lion King juga masih terlalu dini untuk disimpulkan. Film itu harus melalui banyak tantangan dahulu, seperti reaksi penonton hingga performa di box office. Namun, dengan hasil eksekusi yang lebih baik, Mufasa: The Lion King seharusnya dapat melangkah lebih jauh hingga mendekati hasil fantastis dari film The Lion King lima tahun lalu.