Pendidikan di Indonesia dikenal dengan keragaman yang mencakup berbagai aspek, mulai dari kualitas hingga metode pengajaran. Dalam konteks ini, diperlukan parameter yang beragam pula untuk menentukan sistem yang tepat dalam mengukur capaian akademik siswa. Rencana pemberlakuan kembali Ujian Nasional (UN) oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, yang direncanakan mulai tahun 2026, memicu berbagai tanggapan dari masyarakat, baik yang mendukung maupun yang menentang.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengumumkan bahwa UN akan kembali diberlakukan dengan versi baru. Meskipun demikian, kekhawatiran tetap ada bahwa UN akan kembali menjadi beban bagi siswa. Hingga saat ini, belum ada penjelasan rinci mengenai sistem baru yang akan diterapkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat mengenai efektivitas dan tujuan dari pemberlakuan kembali UN tersebut.
Pemberlakuan kembali UN dengan versi baru dikhawatirkan tidak akan menyelesaikan masalah mendasar dalam pendidikan. Salah satu indikatornya adalah rendahnya capaian skor PISA Indonesia selama ini. UN yang dilakukan di akhir jenjang pendidikan lebih sering digunakan sebagai penentu kelulusan, tanpa analisis mendalam sebagai alat diagnostik untuk perbaikan proses pembelajaran.
Sebelumnya, Kemendikbudristek memutuskan untuk tidak lagi memberlakukan UN karena dianggap kurang optimal dalam memperbaiki mutu pendidikan secara nasional. UN lebih banyak mengukur kompetensi berpikir tingkat rendah, yang tidak sejalan dengan tujuan pendidikan untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kompetensi lain yang relevan dengan abad ke-21.
Sebagai alternatif, Kemendikbudristek melaksanakan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Asesmen ini dirancang untuk memetakan dan memperbaiki mutu pendidikan secara nasional. Diharapkan, asesmen yang dilakukan di tengah-tengah jenjang pendidikan dapat mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa dan memberikan bantuan yang sesuai.
Namun, pelaksanaan asesmen ini menghadapi tantangan. Hasil asesmen seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi yang memerlukan capaian akademik individu calon mahasiswa. Selain itu, dalam praktiknya, siswa yang dipilih sebagai sampel untuk mengikuti asesmen seringkali adalah mereka yang memiliki prestasi akademik bagus, sehingga hasilnya menjadi bias dan kurang mencerminkan kondisi riil.
Apa pun sistem evaluasi yang digunakan, konsistensi dan komitmen untuk memperbaiki masalah pendidikan sangat penting. Tanpa itu, evaluasi hanya akan menghasilkan ukuran yang bias. Evaluasi sistem pendidikan dan pengukuran capaian akademik siswa memerlukan dukungan metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, kualitas guru, serta sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.