Oleh: Khulfi M. Khalwani
Perencana Madya di Kementerian Kehutanan
HALUAN.CO – Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan Program unggulan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran yang bisa dikatakan sebagai cita-cita mulia untuk menuntaskan stunting. Program ini dirancang untuk memberikan asupan bergizi kepada ibu hamil, ibu menyusui, balita, dan peserta didik di seluruh jenjang pendidikan, yakni mulai prasekolah, pendidikan dasar hingga pendidikan menengah, baik umum, kejuruan, dan keagamaan.
Sejalan dengan cita-cita mulia ini, Pemerintah telah membentuk Badan Gizi Nasional (BGN) yang bertugas melaksanakan pemenuhan gizi nasional melalui (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024. BGN memiliki tugas dan fungsi salah satunya ialah melakukan koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan teknis di bidang sistem dan tata kelola, penyediaan dan penyaluran, promosi dan kerja sama, serta pemantauan dan pengawasan pemenuhan gizi nasional.
Tentunya tidak sedikit alokasi Anggaran Belanja Negara yang disiapkan untuk implementasi MBG. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan MBG bisa menjadi wujud aksi akuntabilitas yang baik bagi Pemerintah.
Merujuk informasi dari berbagai media telah banyak catatan positif yang dirasakan, namun demikian tidak sedikit juga permasalahan yang muncul pada awal-awal Program ini. Mulai dari standar harga, pilihan menu, hingga dampak sampingan terhadap lingkungan yaitu foodwaste atau sisa makanan.
Sebagai program yang baru diinisiasi tentu masih banyak terdapat persoalan dan tantangan di awal implementasinya. Oleh karena itu Digitalisasi Rencana Menu dan target sasaran MBG tampaknya bisa menjadi instrumen handal untuk meningkatkan kebermanfaatan Program. Sederhananya, seperti layaknya kita memasuki sebuah restoran atau tempat makan yang kekinian, biasanya akan tersedia pilihan menu yang bisa kita scan melalui barcode yang tersedia di meja.
Begitu pula untuk MBG, siswa dan wali kelas atau sekolah bisa mengetahui lebih awal daftar menu MBG yang akan disediakan. Sejak seminggu sebelum MBG diberikan, siswa didampingi wali kelas hanya bisa memilih iya atau tidak atas menu yang akan disediakan.
Jika pilihannya menerima maka konsekuensinya adalah siswa harus menghabiskan makanan tersebut. Jika siswa tidak memilih maka bisa jadi memang siswa tersebut termasuk mampu untuk beli makanan atau jajanan lain atau mungkin telah membawa bekal dari rumah.
Terlihat sederhana, namun kebijaksanaan masyarakat penerima MBG, dalam hal ini siswa dan lembaga sekolah akan terbangun dengan sendirinya. Sejak satu minggu sebelum makanan disajikan, pihak vendor bisa menyiapkan menu sesuai takaran yang pas beserta porsi cadangan bila diperlukan, dan tentunya akan dipastikan tepat sasaran.
Digitalisasi MBG juga bisa dijadikan instrumen pelaporan dan pertanggungjawaban yang efektif.Digitalisasi akan membuat setiap bulir dari pangan bergizi menjadi tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. Untuk itu peran wali kelas atau sekolah menjadi penting disini. Kepedulian sekolah atau wali kelas terhadap kebutuhan gizi siswa akan meningkat dan tata kelola pengadaan MBG juga terbangun dengan baik.
Dengan digitalisasi MBG, selain untuk ketepatan sasaran, seluruh stakeholder juga dapat mengurangi food waste di Indonesia. Kajian yang dilakukan Bappenas pada tahun 2021 menemukan bahwa selama tahun 2000-2019, sampah sisa makanan di Indonesia mencapai 115-184 Kg/kapita/tahun yang porsinya kebanyakan muncul di tahap konsumsi.
Menurut United Nations Environment Programme (UNEP) dalam laporan Food Waste Index Report 2024 memperlihatkan bahwa Indonesia juga merupakan penghasil sampah makanan rumah tangga terbanyak se-Asia Tenggara, tepatnya 14,73 juta ton per tahun.Merujuk data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2004 komposisi sampah sisa makanan masih yang terbesar diantara jenis sampah yang lain yaitu sebesar 38,96%. Meskipun proporsi menurun dari tahun 2023 yang sebesar 39,57% (SIPSN diakses 16 februari 2025 https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/public/data/komposisi)
Dari sisi ekonomi, adanya foodwaste bisa dibilang menyebabkan pemborosan dan kerugian nilai makanan. Dari sisi sosial, foodwaste menimbulkan permasalahan kelaparan dan kekurangan gizi. Sedangkan dari sisi ekologi, foodwaste meberikan dampak berupa peningkatan emisi gas rumah kaca serta penggunaan air dan tanah yang tidak efisien.
Melalui digitalisasi MBG, prilaku konsumen dalam hal ini kebijaksanaan siswa, wali murid, sekolah, vendor dan Pemerintah terkait menu dan porsi akan turut menyelesaikan permasalahan terkait foodwaste. Budaya “lebih baik berlebih daripada kurang” dalam pemenuhan pangan bergizi juga perlahan perlu digeser ke arah pemenuhan makanan yang tepat sasaran. Digitalisasi MBG akan memperbaiki rantai pasok dari hulu hingga hilir serta mengurangi ketidaktepatan sasaran. Hal ini selaras dengan upaya pencapaian Tujuan pembangunan Berkelanjutan pada goal 12, Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab.