Melawan Ketidakpastian dengan Tanam Pohon: Solusi Atasi Kecemasan Kolektif bagi Gen-Z

Editor Haluan
6 Min Read

HALUAN.CO – Pasca pandemi covid-19, penggunaan frasa “di tengah ketidakpastian” (in the midst of uncertainty) acap kali kita temukan pada berbagai ruang diskusi maupun beberapa bahan bacaan.

Bahkan Presiden Prabowo pernah menggunakan frasa ini dalam sambutan dan atau pidatonya untuk menggambarkan tantangan global yang sedang kita hadapi. Frasa di tengah ketidakpastian dapat merujuk pada berbagai bidang seperti ekonomi, politik, dan bahkan kondisi sosial ataupun lingkungan sehari-hari.

Ketidakpastian biasanya akan menimbulkan kecemasan (anxiety). Secara naluriah, konon manusia akan mengalami tekanan dan bahkan kecemasan jika menghadapi kondisi yang ambigu, tentunya dengan level stres yang unik antar individu satu dengan lainnya.

Bukan hanya kecemasan pribadi, dalam dunia yang selalu terkoneksi saat ini, tampaknya fenomena kecemasan kolektif (collective anxiety) dapat mulai kita lihat dan atau bahkan ikut kita rasakan. Bentuk kecemasan ini berbeda dari kecemasan pribadi karena melibatkan kekhawatiran di tingkat kelompok yang menyebar dalam komunitas, yang dipicu oleh isu-isu global seperti pergolakan politik, krisis lingkungan, pandemi kesehatan, dan/atau masalah besar lainnya. Bayangkan saat pagi, siang atau malam, anda sedang membuka media sosial, lalu berulang menemukan berita tentang suhu global yang meningkat, pencemaran sungai atau udara, deforestasi, kebakaran hutan di berbagai belahan dunia, atau kota-kota di pesisir yang perlahan tenggelam. Tanpa memakan waktu yang lama, akan muncul keresahan, “ada apa dengan planet ini? Apakah masa depan kita masih ada ?”

Berat memang. Kalau anda pernah merasa seperti itu, ternyata anda tidak sendirian. Banyak dari kita—terutama Gen Z—sedang mengalami yang disebut eco-anxiety, yaitu kecemasan yang muncul karena dampak perubahan iklim. Ini bukan sekadar rasa khawatir sesaat, tapi bisa berupa ketakutan mendalam tentang masa depan, rasa putus asa, bahkan perasaan bersalah karena merasa tak cukup berbuat sesuatu untuk menyelamatkan bumi. Sebuah studi global oleh Hickman et al (2021) menyebutkan bahwa lebih dari separuh anak muda merasa “sangat khawatir” terhadap perubahan iklim. Banyak dari mereka merasa tidak didengar dan kecewa dengan lambatnya aksi pemerintah. Situasi ini menjadi semakin relevan dengan Indonesia sebagai negara yang sangat rentan terhadap berbagai bencana dampak perubahan iklim. Publikasi oleh Kaligis et al (2024) berjudul “Breaking the silence: unveiling the intersection of climate change and youth mental health in Indonesia” sedikit akan merubah sudut pandang kita. Mereka mencatat bahwa perubahan iklim ternyata ikut memperburuk kesehatan mental anak muda, termasuk munculnya gejala stres dan kecemasan.

Berita Lainnya  Belum resmi bercerai dengan Virgoun, sudah ada ratusan pria siap jadi suami Inara Rusli: Ada 100 orang...

Untuk mengatasi rasa cemas itu, ada satu hal sederhana tapi kuat yang bisa kita lakukan, yaitu menanam pohon.

Kedengarannya klise, mungkin. Tapi efeknya tidak bisa diremehkan.

Menanam pohon adalah bentuk aksi nyata yang bisa kita lihat dan rasakan dampaknya secara langsung. Pohon menyerap karbon dioksida, memberi naungan, dan memperbaiki kualitas udara. Tapi bukan cuma itu, bagi banyak orang muda, menanam pohon juga menjadi cara untuk meredakan kecemasan dan membangun rasa harapan.

Psikolog lingkungan menyebut bahwa keterlibatan aktif dalam aksi-aksi yang menyentuh langsung pada masalah perubahan iklim—seperti reboisasi, bersih-bersih pantai, atau berkebun—dapat meningkatkan kesehatan mental. Kita merasa lebih terhubung dengan alam, punya kontrol atas situasi, dan merasa bahwa kontribusi kita, sekecil apapun, tetap berarti.

Dalam konteks kolektif, kegiatan seperti menanam pohon bersama komunitas juga menciptakan rasa solidaritas. Kita merasa tidak sendiri dalam menghadapi krisis ini. Kita terhubung dengan orang-orang yang juga peduli, juga cemas, dan juga ingin berbuat sesuatu.

Menariknya, penelitian oleh Ojala dan Bengtsson (2019) menunjukkan bahwa anak muda yang terlibat dalam aksi lingkungan cenderung memiliki coping mechanism yang lebih sehat. Mereka mampu mengelola kecemasan dengan cara yang konstruktif. Mereka tidak larut dalam kepanikan, tapi memilih untuk bertindak. Jika dulu saat kuliah ada guyonan antar saya dan sesama teman, “Makanya biar mental kuat gabung Mapala” tampaknya ada benarnya juga jika melihat kondisi saat ini. Lalu, bagaimana kita bisa memulai? Tak perlu menunggu momen besar atau proyek besar. Mulai dari yang kecil: tanam satu pohon di halaman rumah atau taman kota, ajak teman ikut serta, atau dukung komunitas lokal yang aktif menghijaukan lingkungan. Bahkan menyebarkan cerita dan ajakan di media sosial bisa jadi awal dari gerakan yang lebih besar.

Berita Lainnya  Sekarang go international, segini modal awal Shindy Samuel bangun bisnis skincare Glam Shine

Perubahan iklim adalah tantangan generasi kita. Sebagaimana ada pepatah lama mengatakan: “Orang bijak menanam pohon meskipun tahu mereka mungkin tak akan pernah berteduh di bawahnya.”

Percaya atau tidak, dalam proses menanam itu, baik harfiah maupun simbolis, kita juga sedang menanam harapan, menyembuhkan kecemasan, dan membangun masa depan.

Jadi, jika anda merasa cemas tentang perubahan iklim, ingatlah: anda tidak sendirian. Rasa cemas anda itu valid. Tapi bagaimanapun kita harus punya kekuatan untuk mengubahnya menjadi tindakan. Mungkin mulai dari menanam satu bibit pohon dan merawatnya sampai siap tumbuh besar, dunia bisa berubah. (KMK)

Khulfi M. Khalwani

Perencana Madya, Biro Perencanaan-Kementerian Kehutanan- Anggota Senior RIMPALA (R-VIII/002)

Share This Article
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *