HALUAN.CO – Daun salam bumbu wajib dapur Indonesia diam‑diam menjadi komoditas bernilai tinggi di luar negeri.
Jepang memanfaatkannya dalam teh herbal, suplemen pengendali gula darah, hingga produk skincare detoks. Australia serta Belanda mengolahnya menjadi kaldu herbal dan bumbu kering instan.
Namun, tren ekspor Indonesia justru menukik. Pada 2024, nilai penjualan luar negeri hanya US$123.778, separuh lebih rendah dibanding rekor 2021. Volume ekspor ikut tertekan dari hampir 70 ton menjadi 23 ton.
Kendala utama:
Kualitas pascapanen belum memenuhi syarat kadar air & kebersihan.
Aturan impor baru di Jepang dan Uni Eropa mensyaratkan bebas residu pestisida serta logam berat.
Kurangnya diversifikasi produk kebanyakan eksportir hanya mengirim daun utuh, bukan ekstrak atau bubuk standarisasi.
Meski total menurun, pasar Jepang tetap solid: permintaan tumbuh ke US$66.726 pada 2024, tertinggi dalam enam tahun.
Korea Selatan pun melonjak hampir tiga kali lipat. Sementara Australia dan Belanda melambat, partly karena persaingan dengan India dan Sri Lanka.
Melihat proyeksi pertumbuhan pasar herbal global 7 % per tahun hingga 2030, peluang daun salam belum padam. Pemerintah diharapkan:
Mempercepat sertifikasi GAP & GMP agar bahan baku terstandar.
Mendorong hilirisasi dari daun kering higienis hingga produk ekstrak siap ekspor.
Memberi insentif logistik dan akses pembiayaan bagi UMKM rempah.
Dengan langkah strategis, daun yang kerap dianggap “receh” ini berpotensi kembali menyumbang devisa signifikan bagi Indonesia.