HALUAN.CO – Bukan hanya militeristik namun holistik dan berbasis komunitas, tampaknya itulah wujud pertahanan negara bersifat semesta yang ditunjukkan Pemerintah melalui inisiasi hutan cadangan pangan. Yaitu upaya transformasi lahan kritis dan tidak produktif menjadi areal agroforestri untuk sumber pangan.
Di tengah meningkatnya ancaman ketahanan pangan global akibat krisis iklim, konflik geopolitik dan disrupsi rantai pasok, Indonesia telah mengadopsi pendekatan strategis berbasis sumber daya alam dometik untuk memperkuat ketahanan nasional. Hal ini selaras dengan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Nasional untuk Pertahanan Negara. Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Oleh karena itu, melalui inisiatif hutan cadangan pangan dalam skema Perhutanan Sosial, Pemerintah tidak hanya menjawab isu pangan tetapi juga menyentuh aspek strategis pertahanan negara.
Perhutanan sosial bukan sekedar solusi ekologis, tetapi sebuah strategi mutidimensi. Sejalan dengan Asta Cita ke-dua dari Pemerintah Indonesia yang menekankan swasembada pangan, energi dan air sebagai elemen pendukung pertahanan negara, Hutan Cadangan Pangan menjadi istrumen nyata untuk mencapai kemandirian nasional (self resilience). Memperhatikan kondisi saat ini, bagaimanapun negara yang memiliki kemandirian pangan akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dalam diplomasi internasional dan stabilitas domestik.
Belajar dari Pandemi Covid beberapa tahun yang lalu, Clapp dan Moseley (2020) telah menegaskan bahwa food security merupakan elemen penting dari human security dan national resilence. Pendekatan berbasis lahan komunitas untuk produksi pangan terbukti telan memperkuat kohesi sosial dan mencegah gejolak sosial-politik yang mudah muncul dalam masyarakat yang rentan pangan. Menurut data Kemeterian Kehutanan, bahwa dari 8 juta hektare areal perhutanan sosial yang telah diberikan persetujuan, lebih dari 1, 9 juta hektare memiliki kesesuaian untuk tanaman pangan seperti padi, kedelai, kopi dan kakao. Bahkan pada areal indikatif potensi pengembangannya mencapai 3,7 hektare.Hutan cadangan pangan bukan hanya instrument survival, tetapi juga basis ekonomi produktif. Hal ini ditunjukkan oleh data dari Ditjen Perhutanan Sosial yang menyatakan bahwa nilai transaksi ekonomi hasil perhutanan sosial mencapai Rp 1,7 Triliyun lebih pada akhir tahun 2024. Selain aspek ketersediaan pangan, skema perhutanan sosial juga berdampak langsung terhadap penurunan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Tentunya yang tidak kalah penting adalah implikasi agroforestri terhadap pengelolaan lanskap dan konservasi. Alih-alih membuka lahan baru yang berisiko terhadap deforestasi, pendekatan hutan cadangan pangan dalam skema Perhutanan Sosial memungkinkan integrasi antara produksi dan konservasi.
Sistem seperti silvopastura dan silvofishery tidak hanya akan menjaga tutupan hutan, tetapi juga meningkatkan cadangan karbon dan ketahanan ekosistem. Bentuk lanskap agroforestri tersebut akan mampu meredam risiko bencana ekologis dan menjadi buffer alam terhadap krisis iklim.
Sebuah kerangka teoritik yang bisa memvalidasi dan memperkuat pendekatan Indonesia dalam memanfaatkan hutan cadangan pangan dapat kita lihat dari kajian Locatelly et al (2024). Dalam papernya, ia menekankan bahwa ketahanan pangan dan ekologis harus dilihat sebagai hasil dari kerja sama antara manusia dan alam. Inilah yang menjadikan perhutanan sosial sebagai strategi pertahanan non-militer yang berkelanjutan dan resilien.
Lebih lanjut, dengan integrasi lintas sektoral melalui pendekatan Integrated Area Development (IAD), keberadaan hutan cadangan pangan juga akan memperkuat teritorial negara melalui pendekatan people-based defense. Keterlibatan masyarakat hukum adat dan komunitas lokal dalam menjaga dan memanfaatkan kawasan hutan membuat mereka tidak hanya menerima manfaat, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas wilayah negara dari aspek sosial, ekonomi dan ekologis. Bisa dikatakan, agroforestri dalam skema perhutanan sosial adalah sistem ketahanan pangan yang berlapis dan berdaya tahan tinggi. Inilah sebenarnya bentuk nyata dari resilient development yang menjadi fokus dalam literatur keamananan nasional modern, sebagaimana diulas oleh Buhaug et al (2023) dalam papernya yang berjudul Climate-driven risks to peace over the 21st century. Tentunya kita harus memaknai hutan cadangan pangan lebih dari sekedar cadangan logistik negara, melainkan sebagai simbol kedaulatan pangan, kemandirian energi, konservasi ekologis, dan pertahanan rakyat semesta. Dalam konteks Indonesia upaya ini adalah inovasi kebijakan berbasis ekologi dan sosial yang relevan dengan tantangan geopolitik masa kini. Masa depan pertahanan nasional tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga kemampuan rakyatnya untuk hidup mandiri di atas tanah airnya sendiri.
Oleh :
Khulfi M. Khalwani, S.Hut., M.Si
Perencana Madya, Biro Perencanaan – Kementerian Kehutanan