Jakarta – Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, mengumumkan status darurat militer pada Selasa malam (3/12) waktu setempat, sebuah langkah yang belum pernah terjadi sejak 1987. Keputusan ini muncul di tengah ketegangan politik yang meningkat dengan Korea Utara, yang telah berlangsung selama beberapa waktu terakhir.
Namun, hanya dalam waktu kurang dari 12 jam, pada Rabu (4/12), Presiden Yoon resmi mencabut status darurat militer tersebut. Keputusan ini diambil setelah Yoon mengadakan pertemuan dengan anggota kabinetnya dan menyetujui desakan Majelis Nasional melalui voting untuk membatalkan status darurat militer.
Menurut Aniello Ello Iannone, pakar hubungan internasional dari Universitas Diponegoro, kondisi politik dalam negeri Korea Selatan menjadi alasan utama di balik keputusan Presiden Yoon untuk menetapkan status darurat militer. Saat ini, situasi politik di Korea Selatan sedang tidak stabil. Kelompok oposisi yang mendominasi parlemen berusaha menghalangi jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh Yoon dengan memotong anggaran pemerintah dan memakzulkan pejabat-pejabat kunci di kabinetnya. Kondisi ini terus berlanjut sepanjang masa pemerintahan Yoon.
Iannone menjelaskan bahwa penetapan status darurat militer dilakukan untuk melindungi Korea Selatan dari ancaman “kekuatan anti-negara”, yaitu kelompok oposisi yang kini menguasai parlemen. Selain itu, langkah ini juga bertujuan untuk mengamankan posisi Yoon sebagai Presiden, mengingat banyak pihak yang ingin menjatuhkannya karena terlibat dalam berbagai skandal politik.
Di sisi lain, Youngshik Bong, profesor tamu di Yonsei University dan penasihat Kementerian Unifikasi Korea Selatan, menilai bahwa penetapan status darurat militer oleh Presiden Yoon tidak diperlukan. Menurutnya, berdasarkan pasal 77 konstitusi, status darurat militer hanya boleh ditetapkan ketika negara berada dalam kondisi darurat yang serius, seperti perang. Namun, saat ini Korea Selatan tidak mengalami kondisi darurat apa pun, sehingga Youngshik menilai langkah ini tidak diperlukan.