Jakarta – Sejumlah pihak mengajukan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini bertujuan agar mantan kepala daerah dapat kembali mencalonkan diri sebagai calon wakil kepala daerah di daerah yang sama.
Uji materiil ini berfokus pada Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada. Pasal tersebut mengatur bahwa seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah tidak boleh mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah di daerah yang sama. Bunyi pasal tersebut adalah, “Belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama.”
Para pemohon dalam perkara ini adalah John Gunung Hutapea (Pemohon I), Deny Panjaitan (Pemohon II), Saibun Kasmadi Sirait (Pemohon III), dan Elvis Sitorus (Pemohon IV). Mereka berpendapat bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Menurut mereka, aturan ini menghalangi hak konstitusional mantan kepala daerah untuk mencalonkan diri kembali dalam posisi yang berbeda di daerah yang sama.
Perkara Nomor 73/PUU-XXII/2024 ini telah menjalani sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin, 15 Juli 2024. Sidang panel tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, dengan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Arsul Sani sebagai anggota panel.
Dalam sidang tersebut, Saldi Isra menyoroti kedudukan hukum atau legal standing para pemohon. Ia mempertanyakan alasan para pemohon mengajukan permohonan ini. Saldi menjelaskan bahwa di beberapa daerah, pernah terjadi kasus di mana seseorang yang telah selesai menjabat sebagai kepala daerah kemudian mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah. Ia menegaskan bahwa hal ini tidak diperbolehkan karena dikhawatirkan jika kepala daerah berhalangan tetap, maka wakilnya yang pernah menjabat sebagai kepala daerah akan menggantikannya.
Saldi juga mempertanyakan apakah para pemohon sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah selama dua periode. Hal ini berkaitan dengan permohonan yang diajukan, karena masa jabatan dua periode adalah batas maksimal yang diizinkan oleh undang-undang.
Selain itu, hakim panel juga menyoroti penulisan format petitum yang dinilai perlu diperbaiki. Para pemohon dan kuasa hukumnya kemudian mengubah format petitum tersebut dalam perbaikan permohonan yang diserahkan pada Senin, 22 Juli 2024. Petitum yang telah diperbaiki itu disampaikan pada sidang perbaikan permohonan di Gedung MK, Jakarta, Senin pada 29 Juli 2024 lalu.
Saldi Isra menyatakan bahwa permohonan ini akan dibahas oleh para hakim dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). Keputusan akhir mengenai uji materiil ini akan ditentukan setelah melalui proses pembahasan yang mendalam oleh para hakim MK.