Jakarta – Gangguan irama jantung atau fibrilasi atrium (FA) diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya stroke penyumbatan otak atau stroke iskemik. Guru besar bidang aritmia Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi Sp.JP(K) FIHA FAsCC, menjelaskan bahwa individu dengan fibrilasi atrium memiliki risiko lima kali lipat lebih tinggi untuk terserang stroke iskemik.
Menurut Prof. Yoga, fibrilasi atrium menyebabkan terbentuknya gumpalan darah atau kardio emboli di serambi kiri jantung. Apabila gumpalan tersebut dipompa oleh jantung, bisa menyangkut di pembuluh darah besar, terutama di bagian pangkal pembuluh otak. Hal ini mengakibatkan aliran darah ke otak terhambat, yang pada akhirnya menyebabkan stroke iskemik.
Prof. Yoga menambahkan bahwa stroke iskemik yang terjadi pada penderita fibrilasi atrium dapat menyebabkan disabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan stroke yang tidak disertai fibrilasi atrium. “Darah yang tidak bisa mengalir dengan lancar ke otak akan menyebabkan kerusakan yang lebih parah,” jelasnya.
Staf pengajar Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI-PJNHK ini juga menyebutkan bahwa serangan stroke dapat menyebabkan seseorang mengalami kelainan irama jantung aritmia, termasuk fibrilasi atrium. “Saat terjadi stroke, ada aktivasi hormon yang memudahkan terjadinya kelainan aritmia,” ungkap Prof. Yoga.
Bagi pasien stroke yang terdeteksi mengalami fibrilasi atrium, dokter akan melakukan tindakan ablasi setelah lima hari masa akut stroke. Tindakan ini bertujuan untuk menghentikan gumpalan darah yang terbentuk di serambi kiri jantung, yang dapat menyebabkan disabilitas seperti kesulitan menelan dan bergerak meski sudah lama sembuh dari stroke.
Prof. Yoga menekankan pentingnya mengendalikan faktor risiko fibrilasi atrium untuk mencegah stroke iskemik. Faktor-faktor risiko tersebut meliputi hipertensi, diabetes, obesitas, usia, gangguan tidur, dan konsumsi alkohol berlebihan. “Fibrilasi atrium harus ditangani dengan baik agar tidak menyebabkan stroke iskemik,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pada usia 40 hingga 60 tahun, seseorang memiliki risiko fibrilasi atrium dan stroke yang lebih besar. Oleh karena itu, penting untuk mengenali gejala fibrilasi atrium dengan cara meraba nadi sendiri atau menggunakan gawai smartwatch untuk mendeteksi denyut jantung secara lebih mudah.