Jakarta – Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut dari Mei hingga Juli 2024 tidak dapat dijadikan indikator bahwa daya beli masyarakat sedang tertekan.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter Bank Indonesia, Juli Budi Winantya, menjelaskan bahwa penyebab utama deflasi selama tiga bulan tersebut adalah penurunan drastis dari komponen inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food, yang turun dari sekitar 9% menjadi hanya 5%.
Lebih lanjut, Juli mengungkapkan bahwa tekanan harga pangan bergejolak pada Juli 2024 telah berada di kisaran 3,63%, turun dari bulan sebelumnya yang mencapai 5,96%. Penurunan ini dipicu oleh ketersediaan pasokan pangan yang semakin terjaga akibat pergeseran musim panen.
Juli menekankan bahwa inflasi inti lebih mencerminkan daya beli masyarakat. Inflasi inti cenderung stabil di kisaran 1%. Pada Juli 2024, inflasi inti berada di kisaran 1,95%, sedikit naik dari level sebelumnya yang berada di kisaran 1,9%.
Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, juga menyampaikan pandangan serupa. Menurutnya, deflasi beruntun bukan disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat. BPS menyatakan bahwa deflasi terjadi karena suplai yang melimpah di pasar.
Amalia menjelaskan bahwa peningkatan suplai terutama terjadi pada ketersediaan bahan makanan bergejolak atau volatile food. Komponen harga pangan bergejolak ini sangat mempengaruhi tingkat inflasi secara umum.
Dalam beberapa waktu terakhir, rapat pengendalian inflasi yang digelar setiap pekan sangat memperhatikan ketersediaan pasokan pangan bergejolak di pasar. Salah satu bahan makanan yang menjadi sorotan adalah ketersediaan harga bawang merah dan cabai. Ketika pasokan ditambah, harga kedua komoditas ini ikut turun dan berkontribusi pada deflasi.