Langkah pemerintah untuk menunda kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada barang mewah diprediksi tidak akan menambah pundi-pundi negara secara signifikan. Selain itu, keputusan untuk “membatalkan” kenaikan PPN secara menyeluruh dan tetap mengalokasikan dana untuk insentif ekonomi bagi sektor usaha dan masyarakat menjadi sorotan.
Kebijakan populis ini, yang diambil pada awal pemerintahan Prabowo Subianto, memberikan angin segar bagi masyarakat kelas menengah-bawah yang daya belinya menurun. Namun, di tengah penerimaan pajak yang lesu dan kebutuhan belanja yang meningkat, langkah ini bisa menjadi bumerang bagi keuangan negara jika tidak segera diimbangi dengan strategi lain untuk meningkatkan pendapatan.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa kenaikan tarif PPN untuk barang mewah hanya akan menambah penerimaan pajak sebesar Rp 1,5 triliun hingga Rp 3,5 triliun. Angka ini jauh di bawah potensi Rp 75 triliun yang bisa didapat jika tarif PPN dinaikkan secara umum untuk seluruh barang dan jasa.
Meskipun kenaikan PPN secara umum dibatalkan, pemerintah tetap mengeluarkan paket stimulus ekonomi yang awalnya disiapkan sebagai bantalan ekonomi. Total ada 12 insentif yang disediakan, termasuk diskon tarif listrik, bantuan pangan, dan perpanjangan insentif pajak bagi UMKM. Estimasi anggaran untuk stimulus ini mencapai Rp 30 triliun hingga Rp 40 triliun, lebih besar dari potensi penerimaan dari kenaikan PPN barang mewah.
Ekonom Universitas Indonesia dan Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal Hastiadi, menilai bahwa kebijakan ekonomi populis ini dapat memulihkan daya beli kelas menengah-bawah yang terpuruk pascapandemi. Dalam 2-3 tahun mendatang, basis konsumsi masyarakat diperkirakan akan lebih kuat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi.
Fithra mengakui bahwa penerimaan pajak pada tahun 2025 berpotensi mengalami shortfall atau gagal memenuhi target. Defisit fiskal juga mungkin melebar dari target 2,53 persen terhadap PDB. Namun, jika pemerintah tetap menaikkan tarif pajak untuk semua barang dan jasa, konsumsi masyarakat akan menurun, mengurangi transaksi yang bisa dipajaki, dan melemahkan daya beli.
Untuk menjaga stabilitas APBN, pemerintah dapat memanfaatkan sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) dari tahun 2024 sebesar Rp 45,4 triliun. Jika digabungkan dengan silpa tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan ada saldo anggaran lebih (SAL) sekitar Rp 350 triliun. Kas cadangan ini dapat digunakan untuk menambal penerimaan pajak yang turun tanpa perlu menambah penerbitan surat utang.
Meski demikian, pemerintah tetap perlu mencari strategi lain untuk menambal penerimaan. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa kenaikan PPN untuk barang mewah tidak akan berdampak signifikan bagi penerimaan negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih kreatif dan inovatif dalam menyusun strategi penerimaan untuk tahun 2025 dan 2026.
Menurut Wijayanto, langkah yang bisa ditempuh adalah mengoptimalkan sistem coretax untuk memperluas basis pajak, meningkatkan governance perpajakan, dan mempermudah pembayaran pajak. Pemerintah juga perlu memberantas kebocoran pajak dan menghilangkan praktik ekonomi bawah tanah yang ilegal.
Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo, menekankan perlunya terobosan sumber pendapatan negara dan pembiayaan. Terobosan ini tidak hanya berkutat pada tarif pajak, tetapi harus lintas-sektoral, melibatkan moneter, perbankan, jasa keuangan, PNBP, teknologi, dan intelijen.
Dradjad mencontohkan kasus-kasus pajak yang sudah inkracht dan kebocoran cukai. Selain itu, terobosan pembiayaan infrastruktur dan pangan melalui perubahan peraturan tertentu juga diperlukan. Tanpa terobosan lintas-sektoral, kapasitas fiskal Indonesia berisiko stagnan atau menurun.
Dengan berbagai tantangan dan peluang yang ada, pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah strategis untuk menjaga stabilitas keuangan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.