Jakarta – Guru Besar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum, mengemukakan urgensi pembebasan Mardani H. Maming demi hukum dan keadilan. Mantan Rektor Universitas Diponegoro periode 2019-2024 ini menyoroti adanya kekeliruan dalam putusan pemidanaan yang dijatuhkan.
Prof. Yos Johan menegaskan bahwa keputusan Mardani H. Maming sebagai Bupati terkait pemindahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari perspektif hukum administrasi adalah sah. Keputusan tersebut tidak pernah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang memiliki otoritas dalam ranah hukum administrasi.
Menurut hasil eksaminasi para pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), bukti-bukti persidangan telah membantah semua tuduhan terhadap Maming. Keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah menyatakan bahwa kasus tersebut murni hubungan bisnis, bukan kesepakatan tersembunyi.
Prof. Yos menekankan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak memiliki wewenang untuk menilai keabsahan keputusan administratif. Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang dapat dijadikan dasar pidana, dan Maming tidak bisa dipidana.
Pasal 93 ayat 1 UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba mengatur larangan kepada pemegang IUP sebagai pihak swasta, bukan kepada Bupati.
Lebih lanjut, Prof. Yos menyebut bahwa keputusan hakim dalam kasus ini terlalu dipaksakan. Bukti yang ada dinilai tidak cukup kuat untuk mendukung dakwaan terhadap Maming.
Sebagai mantan Bupati Tanah Bumbu, Maming dinilai telah menjalankan kewenangannya sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Tindakan Mardani Maming dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) telah memenuhi seluruh persyaratan administrasi yang ditetapkan. Perizinan tambang tersebut juga telah melalui kajian dari tingkat daerah hingga pusat, dan mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.
Dalam kesempatan terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Topo Santoso, juga menyoroti kelemahan dalam proses penuntutan. Dugaan “kesepakatan tersembunyi” terhadap Maming menjadi gugur setelah putusan inkrah dari Pengadilan Niaga, yang menyimpulkan bahwa transaksi tersebut adalah murni bisnis antar perusahaan.
Prof. Topo menegaskan bahwa pihak yang dituduh sebagai pemberi suap, Alm. Hendry Setio, tidak pernah diperiksa karena telah meninggal dunia. Hal ini memperlemah tuduhan “kesepakatan tersembunyi” terhadap Maming, yang dinilai tidak didukung oleh bukti konkret.
Pernyataan dari para ahli hukum ini diharapkan dapat menjadi perhatian publik, terutama terkait pentingnya penerapan asas keadilan dan pembuktian yang jelas dalam proses hukum. Sistem peradilan harus memastikan bahwa setiap keputusan diambil dengan pertimbangan matang dan berdasarkan fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga keadilan bagi semua pihak dapat terwujud.