Jakarta – Dalam sorotan tajam, Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menekankan urgensi perhatian pemerintah terhadap hubungan dengan negara-negara ASEAN menyusul pernyataan bersama antara Indonesia dan China terkait kolaborasi maritim di Laut China Selatan (LCS). Hasanuddin menilai bahwa sengkarut perbatasan di LCS adalah masalah kolektif yang harus dihadapi bersama oleh negara-negara ASEAN.
Hasanuddin mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pernyataan bersama tersebut dapat mengabaikan kepentingan kolektif negara-negara ASEAN. Menurutnya, penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa kerja sama dengan China tidak merugikan kepentingan kolektif ASEAN, terutama dalam menghadapi klaim tumpang tindih di LCS.
Politikus PDIP ini juga menyoroti pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang menyusul kritik terhadap pernyataan bersama tersebut. Dalam klarifikasinya, Kemlu menyatakan bahwa kerja sama maritim antara Indonesia dan China mencakup aspek ekonomi di bidang perikanan dan konservasi perikanan di kawasan LCS. Namun, Hasanuddin mempertanyakan apakah kerja sama ini benar-benar menguntungkan Indonesia, mengingat kapal-kapal China yang sering memasuki wilayah Natuna kerap melakukan pencurian ikan.
Hasanuddin mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kapal-kapal China nantinya akan semakin bebas menangkap ikan di Laut Natuna. Ia menegaskan bahwa Indonesia selama ini konsisten menolak klaim nine-dash line atau garis putus yang tidak memiliki basis hukum internasional dan bertentangan dengan UNCLOS 1982. Kini, China menyebut wilayah perairannya di LCS dengan istilah ten-dash line.
Menurut Hasanuddin, jika Indonesia menandatangani kerja sama ekonomi perikanan di wilayah tersebut dengan pihak yang selama ini dianggap bertentangan dengan hukum internasional, hal itu sama saja dengan tidak patuh pada hukum internasional. Ia mengingatkan agar Kemlu lebih berhati-hati dan responsif terhadap segala pernyataan resmi dari kunjungan Presiden, serta tidak hanya menjadi pemadam kebakaran jika ada polemik dari kerja sama tersebut.
Pernyataan bersama antara China dan Indonesia dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Guru Besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Hikmahanto menyoroti kesepahaman bersama mengenai pengembangan di bidang-bidang yang memiliki klaim tumpang tindih, terutama terkait klaim China di LCS.
Menanggapi kritik tersebut, Kemlu menegaskan bahwa kerja sama maritim Indonesia dengan China bertujuan untuk memelihara perdamaian dan persahabatan di kawasan. Menurut Kemlu, kerja sama ini tidak berdampak terhadap kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara.