Jakarta, – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah merencanakan kajian mendalam mengenai rekayasa konstitusi terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden setelah masa reses. Diskusi ini diharapkan dapat berjalan seiring dengan revisi undang-undang politik lainnya, termasuk pemilihan kepala daerah dan partai politik.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dengan melakukan serangkaian kajian. “Kita semua tahu bahwa putusan MK bersifat final, mengikat, dan harus ditaati. Namun, apakah akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau menjadi bagian dari undang-undang omnibus, belum kami putuskan. Kami akan memasuki masa reses setelah masa sidang, dan setelah reses pada 15 Januari,” ujar Dasco di Jakarta, Selasa (7/1/2025).
Dasco menjelaskan bahwa kajian bersama rekan-rekan parlemen ini bertujuan untuk mendalami rekayasa konstitusi yang menjadi pertimbangan dalam Putusan MK dengan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024. Pembahasan ini diharapkan dapat memastikan bahwa penerapan rekayasa konstitusi tersebut tidak melanggar aturan yang ada.
Sebelumnya, Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dalam sidang putusan yang berlangsung Kamis (2/1/2025), menyatakan bahwa pembentuk undang-undang dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan lima pertimbangan. Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan capres dan cawapres. Kedua, pengusulan pasangan calon oleh partai atau gabungan partai politik pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Dalam pertimbangan ketiga, Isra menegaskan bahwa pengusulan pasangan calon dari gabungan parpol peserta pemilu tidak boleh menyebabkan dominasi yang membatasi jumlah kandidat. Keempat, parpol yang tidak mengusulkan pasangan calon dalam pilpres akan dikenakan sanksi berupa larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Pertimbangan kelima, perumusan rekayasa konstitusional termasuk perubahan UU Pemilu harus melibatkan partisipasi semua pihak yang peduli terhadap penyelenggaraan pemilu. “Termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna,” ujar Isra.
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menyatakan bahwa penghapusan ambang batas pencalonan presiden oleh MK ini belum menjawab seluruh permasalahan terkait pemilu. Ada isu lain yang saling berkaitan, seperti penerapan jenis sistem pemilu, daerah pemilihan, dan besaran kursi setiap dapil.
“Presidential threshold hanya salah satu dari banyak isu yang menjadi bagian dari sistem pemilu kita. Setiap isu saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Jadi, putusan terkait penghapusan ambang batas ini tidak akan berarti besar jika tidak diikuti dengan penyempurnaan sistem pemilu, bahkan sistem politik dan demokrasi kita,” ujarnya.
Menurut Ahmad Doli, penghapusan ambang batas ini merupakan bagian dari tujuan akhir untuk memperkuat demokrasi yang lebih sehat, berkualitas, dan berkontribusi terhadap kemajuan bangsa. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa Presiden dan para ketua umum partai politik perlu mendorong pemerintah dan DPR untuk mengambil langkah konkret terkait agenda pembahasan revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik.
Anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, menyatakan bahwa pihaknya tengah memikirkan pembahasan RUU Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik untuk disatukan. Bahkan, pembahasan terkait peraturan omnibus dengan menggabungkan sejumlah aturan terkait pemerintah pusat dan daerah.
“Beberapa teman di Komisi II bahkan berpikiran untuk omnibus. Bahkan jika lebih ekstrem, ada enam UU, seperti UU MD3, UU Pemda, UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, dan jika ditambah UU Desa. Hal ini diperlukan agar kebijakan pemerintah pusat tidak bertentangan dengan kebijakan di daerah,” papar Mardani.
Dengan demikian, langkah-langkah konkret dan kajian mendalam diperlukan untuk memastikan bahwa perubahan yang diusulkan dapat memperkuat sistem politik dan demokrasi di Indonesia.