Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan bahwa deflasi yang dialami Indonesia selama empat bulan berturut-turut mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi terjadi dari Mei hingga Agustus secara bulanan (month-to-month/mtm) pada tahun ini.
Eko Listiyanto, ekonom senior INDEF, mengungkapkan bahwa lemahnya daya beli sudah terlihat dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya mencapai 4,9 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq) pada kuartal I dan II 2024. Angka ini menurun dibandingkan pertumbuhan konsumsi sebelum pandemi COVID-19 yang minimal mencapai 5 persen.
Padahal, pada kuartal I dan II tahun ini, terdapat momen Lebaran dan Pemilu yang seharusnya dapat mendongkrak konsumsi. Eko menegaskan bahwa tren pelemahan ini harus menjadi alarm bagi pemerintah karena pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menampik bahwa deflasi selama empat bulan berturut-turut mengindikasikan daya beli masyarakat yang melemah. Menurutnya, dalam pengukuran inflasi inti atau core inflation, tidak terlihat adanya penurunan daya beli yang signifikan terkait deflasi ini.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa deflasi yang terjadi disebabkan oleh penurunan harga pangan, yang memang menjadi fokus perhatian pemerintah. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar harga pangan bisa turun sehingga tidak memicu inflasi. Menurutnya, jika penurunan harga-harga alias deflasi disebabkan oleh turunnya harga pangan, maka itu adalah tren yang positif.
Meski begitu, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah tetap akan waspada terhadap pergerakan inflasi ke depan. Pemerintah akan terus memantau dan mengendalikan harga-harga bahan pokok agar tetap stabil dan terjangkau bagi masyarakat.