Jakarta, — Program makan bergizi gratis (MBG) yang diinisiasi oleh pemerintahan Prabowo Subianto baru saja dimulai, namun sudah menghadapi berbagai kritik dari masyarakat. Program ini, yang awalnya dikenal sebagai ‘makan siang gratis’, kini telah berganti nama menjadi makan bergizi gratis dan menjadi salah satu janji kampanye Prabowo-Gibran pada pemilihan presiden 2024.
Dalam dua hari pelaksanaannya, program ini telah menimbulkan berbagai keluhan dari para penerima manfaat. Beberapa siswa mengeluhkan tidak adanya susu dalam menu, serta rasa makanan yang hambar sehingga tidak disukai. Selain itu, banyak siswa yang tidak menyukai sayuran tertentu, sehingga makanan tersebut tidak dihabiskan. Para siswa berharap agar menu dapat divariasikan di masa mendatang agar lebih menarik.
Keluhan lain yang muncul adalah terkait waktu pengantaran makanan yang sering kali berdekatan dengan jam pulang sekolah, atau bahkan mengurangi waktu belajar. Beberapa siswa juga merasa belum lapar karena sudah sarapan di rumah, sehingga makanan yang diberikan sering kali dibawa pulang untuk dimakan di rumah.
Program ini direncanakan untuk menyasar 3 juta anak pada tahap awal, namun Badan Gizi Nasional (BGN) hanya mampu menyediakan makanan untuk 600 ribu anak. Program ini telah dilaksanakan di 190 titik di 26 provinsi pada fase awal.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai bahwa berbagai keluhan yang muncul disebabkan oleh tata kelola program MBG yang belum jelas. Menurutnya, program ini belum memiliki standar operasional prosedur (SOP) dan petunjuk teknis (Juknis) yang jelas, sehingga menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaannya.
Trubus juga mengkritik pelaksanaan awal program ini sebagai ‘uji coba kebijakan yang diperluas’, karena perencanaan yang belum matang berdampak pada persiapan infrastruktur yang masih terbatas. Ia mencontohkan banyaknya keluhan terkait pengantaran makanan yang terlambat sebagai indikasi terbatasnya infrastruktur pendukung.
Trubus menyarankan agar program MBG lebih difokuskan pada daerah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T), karena anak-anak di kawasan ini lebih membutuhkan makanan bergizi gratis dibandingkan dengan daerah perkotaan yang lebih makmur. Ia juga menekankan pentingnya melibatkan orang tua dalam proses memasak, agar menu yang disajikan lebih sesuai dengan selera anak-anak.
Peneliti Global Health Security di Pusat Lingkungan Hidup dan Kesehatan Penduduk Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menyoroti pentingnya penjadwalan distribusi makanan yang sesuai dengan kebutuhan waktu makan anak. Ia menyarankan agar pengantaran makanan untuk anak tingkat TK atau SD dilakukan sebelum pelajaran dimulai, sekitar pukul 07.30-08.00 waktu setempat.
Untuk anak tingkat SMP dan SMA, Dicky menyarankan agar makanan diberikan saat istirahat tengah hari, sekitar pukul 11.00-12.00, untuk mendukung aktivitas belajar mereka. Ia juga menekankan pentingnya sistem kluster distribusi makanan berdasarkan jarak dan waktu operasional dari dapur, serta melibatkan pihak sekolah dalam menentukan waktu makan yang ideal.