Haluan.co – Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma angkat bicara perihal upaya penyelamatan pilot Susi Air Philip Mark Merthens, yang disandera KKB di Nduga, Papua Pegunungan.
Dalam upaya penyelamatan itu, sebanyak 5 anggota TNI AD gugur diserang KKB sehingga Panglima TNI menerapkan status siaga tempur.
Filep memahami maksud siaga tempur bagi TNI juga untuk perlawanan saat diserang lantaran untuk menjaga keselamatan diri.
Meskipun begitu, senator Filep memandang bahwa tetap saja kekerasan tidak dapat menyelesaikan masalah.
“Persoalannya adalah tuntutan KKB untuk memisahkan diri dari Indonesia. Saat Philip Mark Merthens dijadikan sandera, maka boleh jadi disitu ada jalan damai, negosiasi bisa dilakukan. Selain TNI mengedepankan negosiasi, pihak Susi Air juga saya pikir harus turut berupaya penuh untuk membantu negosiasi,” ujarnya, Sabtu (29/4/2023).
“Yang saya pikirkan dari peristiwa ini, rakyat sipil bisa saja kembali menjadi korban karena kedua pihak saling terus bersitegang. Ini berbahaya bagi kelanjutan penegakan HAM di Papua yang notabene masih memiliki sejumlah kasus yang belum terselesaikan,” kata Filep (27/04).
Selain itu, anggota DPD RI dapil Papua Barat ini mengingatkan bahwa setiap peristiwa kekerasan hanya akan menambah tragedi baru.
Dirinya menekankan agar semua pihak menahan diri untuk tidak bertindak yang mengakibatkan berulangnya kekerasan di tanah Papua.
“Tentu kita tidak inginkan bersama berulangnya peristiwa kekerasan terutama di tengah perjuangan untuk kesejahteraan anak cucu kita di Papua. Soal penyanderaan ini, coba kita lihat bersama, peristiwa ini mungkin tidak terjadi jika kapten Philip Mark Merthens juga punya manajemen resiko, sudah paham tentang penerbangan di wilayah pegunungan, dan pasti punya asuransi KRE (Kidnapping, Ransom, Extorsion). Saya yakin pihak Susi Air paham hal ini,” ujarnya.
“Selain itu, kita perlu menggandeng Pemerintah Selandia Baru sebagai negara asal Philip Mark Merthens, karena semakin banyak pihak yang didengarkan untuk negosiasi, maka risiko kekerasan pasti bisa diturunkan. Sebagai anak Papua, saya hanya ingin Papua ini damai, karena saya tahu masa depan anak-anak Papua masih sangat panjang untuk membangun tanah ini,” tegas Filep.
Lebih lanjut, pimpinan Komite I DPD RI ini juga menyinggung perihal Keppres Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Adapun tugasnya adalah memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan pelaksanaan rekomendasi Tim Penyelesaian non-yudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat masa lalu dan melaporkan kepada Presiden.
“Saya pikir ini menarik, karena kita berharap bisa melihat kembali semua pelanggaran HAM yang lalu di tanah Papua, yang sudah diperiksa Komnas HAM. Namun, saya dan rakyat Papua juga membutuhkan aksi nyata bahwa semua kasus HAM di Papua di masa lalu bisa selesai dengan adil. Tapi yang saya catat pernyataan dari pemerintah, adanya tim penyelesaian non yudisial ini tidak akan menghilangkan aspek yudisialnya, dan saya setuju poin itu. Karena keadilan itu tidak hanya memberikan kemanfaatan, tapi juga kepastian hukum bahwa para pelaku kejahatan HAM harus diadili berdasarkan hukum,” ucapnya dengan tegas.
Filep mengingatkan kembali bahwa perjuangan di tanah Papua akan selalu terhambat jika KKB dan TNI tidak duduk bersama.
Masalah ini akan berkepanjangan sebagaimana yang terjadi dan berlangsung hingga saat ini.
“Jika duduk bersama tidak bisa direalisasikan, maka bisa didengarkan pendapat dari pihak lain yang independen. Karena bertahun-tahun sudah diusulkan ini dan itu, dibuat aturan ini dan itu, tetapi tetap saja kekerasan terjadi diantara KKB dan TNI, dan bahkan berlarut-larut dan rakyat sipil seringkali jadi korban. Maka saya mengimbau agar masing-masing pihak menahan diri, cukuplah anak-anak Pegunungan mendengar suara tembakan, karena trauma-trauma akan terus tercipta,” ungkap Filep.***