Jakarta, — Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak pemerintah untuk segera menghentikan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang berlokasi di Tangerang Utara, Banten. Proyek ini diduga melanggar sejumlah aturan yang berlaku.
Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, menyoroti polemik yang muncul di tengah masyarakat terkait proyek ini. Menurut Jazuli, proyek PIK 2 disinyalir melanggar rencana tata ruang dan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan.
“Kami melihat ada persoalan mendasar dalam PSN PIK 2 berdasarkan kajian dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN),” ujar Jazuli dalam pernyataannya pada Selasa (7/1).
Jazuli meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek tersebut. Berdasarkan informasi yang diterimanya, dari total 1.755 hektare area PSN, sekitar 1.500 hektare berada di wilayah hutan lindung. Hingga kini, belum ada pengajuan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dari Pemerintah Provinsi Banten maupun pemerintah kabupaten/kota terkait.
Sebagai wakil rakyat dari daerah yang sama, Jazuli menekankan pentingnya memperhatikan aspek sosial masyarakat, kesesuaian dengan RTRW, dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam penetapan PSN.
“Proyek PIK 2 yang tidak termasuk dalam PSN harus mematuhi aturan RTRW dan lingkungan,” tegasnya.
Jazuli juga mengingatkan agar pemerintah tidak menjadikan proyek swasta ini seolah-olah sebagai proyek strategis nasional. Ia menilai kebijakan tersebut justru merugikan masyarakat luas.
“Jangan sampai proyek swasta ini mendompleng nama PSN di hadapan masyarakat. Kami tidak ingin PSN PIK 2 ini merugikan kepentingan masyarakat setempat dan mengorbankan ekosistem serta kelestarian lingkungan,” tambah Jazuli.
Sikap serupa juga disuarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan, menyatakan bahwa PIK 2 harus dihentikan karena masih ada sejumlah masalah yang belum terselesaikan, baik dari sisi perizinan maupun kompensasi.
“MUI, berdasarkan hasil musyawarah kerja nasional, meminta agar proyek ini dihentikan karena lebih banyak masalahnya,” ujar Amirsyah di Jakarta, Selasa.
Amirsyah mengungkapkan bahwa banyak kejanggalan yang dialami warga akibat pembangunan PSN tersebut. Warga tidak mendapatkan sosialisasi yang jelas mengenai pembangunan PSN, bahkan dipaksa menjual tanah mereka dengan harga yang sangat rendah, yaitu Rp50 ribu per meter.
“Warga juga mengalami intimidasi. Banyak masalah yang terjadi, termasuk kerugian, pelanggaran hak-hak warga, dan proses hukum yang belum sesuai prosedur, serta kurangnya sosialisasi yang membingungkan,” jelasnya.
Ketua Tim MUI tentang PIK 2, Masduki Baidlowi, menyatakan bahwa MUI akan mengundang sejumlah instansi terkait untuk membahas masalah PSN di PIK 2. “Sikap MUI cukup tegas dan ini adalah langkah yang akan terus dilakukan. MUI akan melakukan crosscheck dan tabayyun ke berbagai pihak serta mengundang instansi terkait untuk mempertegas hasil keputusan MUI di Mukernas,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian ATR/BPN menemukan bahwa PSN yang dikelola oleh Agung Sedayu Grup milik Sugianto Kusuma alias Aguan diduga melanggar sejumlah aturan. Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, menyatakan bahwa proyek tersebut tidak menaati RTRW provinsi dan RTRW kabupaten/kota.
“Pemerintah daerah juga belum mengajukan perubahan RTRW. Pelaku proyek pun belum mengajukan permohonan rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR). Jadi, kami tidak bisa menyatakan apa-apa,” tegas Nusron.
Nusron menambahkan bahwa status PSN PIK 2 berada di tangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, bukan di Kementerian ATR/BPN. “Kami hanya mengurusi tata ruang. KKPR menjadi pintu masuk perizinan lainnya. Sebelum ada itu, proyek tidak bisa dilanjutkan,” tambahnya.
Proyek tropical coastland di PIK 2 yang bermasalah ini mencakup area seluas 1.755 hektare, di mana 1.500 hektare di antaranya masih berdiri di atas hutan lindung. Nusron menjelaskan bahwa status hutan lindung tersebut harus diturunkan menjadi hutan konversi terlebih dahulu, kemudian diubah menjadi hak penggunaan lain (HPL) agar bisa digarap.