HALUAN.CO – Keberadaan kapal penyelamat kapal selam terbaru milik China di Selat Tsushima kembali mencuatkan kecemasan di Jepang, yang mencurigai niat Beijing memperluas pengaruh militernya di kawasan.
Laporan dari Monitor.co.ug pada Selasa (12/8/2025) menyebut bahwa ini adalah kali kedua dalam bulan yang sama kapal-kapal perang China—termasuk dua kapal perusak tipe 052D dan satu kapal logistik tipe 903—terlihat memasuki Laut Jepang melalui selat tersebut.
Langkah ini dianggap sebagai sinyal provokatif yang mempertegas penilaian Kementerian Pertahanan Jepang, yang menyebut China sebagai “tantangan strategis terbesar dan belum pernah terjadi sebelumnya.”
China sendiri menepis kekhawatiran tersebut, menyatakan pelayaran tersebut sebagai bagian dari latihan rutin yang sah menurut hukum laut internasional.
Namun, sejumlah analis internasional menilai pergerakan kapal-kapal PLA yang sangat dekat dengan wilayah Jepang menunjukkan eskalasi yang disengaja. Jepang pun menyoroti pola militerisasi China dari wilayah barat daya hingga Samudra Pasifik sebagai perkembangan yang harus diwaspadai.
Sikap Jepang selama ini cenderung menahan diri. Saat kapal JS Sazanami pada September 2024 berlayar melalui Selat Taiwan bersama armada Australia dan Selandia Baru, China langsung melayangkan protes. Itu menjadi pelayaran pertama Jepang melalui selat sensitif tersebut.
China, di sisi lain, terus melakukan patroli dan operasi maritim di kawasan secara intensif, tanpa memperhatikan sensitivitas regional. Kasus sebelumnya, seperti pelayaran kapal intelijen Dongdiao ke Laut China Timur melalui Selat Tsushima pada Oktober 2022, menegaskan ketidakterbukaan China dalam menjamin stabilitas kawasan.
Selat ini memiliki nilai strategis tinggi sebagai jalur logistik dan militer, khususnya bagi China yang sangat bergantung pada rute pelayaran global.
Dari sisi militer, selat ini memungkinkan China mengakses dan memproyeksikan kekuatan ke Laut Jepang dan Pasifik Utara. Letaknya yang berada di antara Jepang dan Korea Selatan menjadikannya titik strategis dalam konstelasi keamanan regional.
Walaupun bukan perairan kedaulatan Jepang, frekuensi pelayaran kapal militer China di sini kian meningkat, memicu ketegangan diplomatik dan keamanan.
Laporan Jepang juga menyoroti peningkatan kekuatan Coast Guard China dan penggunaan pendekatan zona abu-abu, yaitu taktik yang ambigu antara konflik dan perdamaian.
Beberapa kejadian baru-baru ini menunjukkan pola agresif China, seperti pelanggaran wilayah udara Jepang oleh pesawat militer China di atas Nagasaki, serta pelayaran kapal induk Liaoning di dekat Okinawa.
Bagi Jepang, aksi-aksi tersebut bukan lagi sekadar pelatihan rutin, melainkan strategi jangka panjang China untuk menantang keseimbangan kekuatan kawasan atas nama hak navigasi.
Tokyo kini dituntut lebih tegas, memperkuat kemitraan keamanan, dan meningkatkan tekanan internasional. Sikap pasif sudah tidak relevan karena setiap langkah militer China membawa pesan strategis. Dunia tengah menyaksikan, dan Jepang bersiap menjaga wilayah lautnya dengan lebih waspada.