Jakarta – Titi Anggraini, seorang pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa Pilkada 2024 telah diwarnai oleh praktik memborong tiket partai politik (parpol). Menurut Titi, praktik ini telah mengakibatkan keterputusan aspirasi pencalonan yang seharusnya mewakili suara masyarakat.
Titi menjelaskan bahwa keterputusan aspirasi tersebut terlihat jelas dalam Pilkada Jakarta 2024. Menurutnya, masyarakat dapat merasakan dampak langsung dari keterputusan ini, yang kemudian memicu ekspresi ketidakpuasan. Salah satu bentuk ketidakpuasan tersebut adalah gerakan mencoblos semua kandidat pasangan calon (paslon).
Ketidakpuasan masyarakat ini, lanjut Titi, juga memunculkan wacana tentang suara kosong, kotak kosong, atau gerakan tidak memilih calon tunggal. Wacana ini semakin sering dibahas di ruang publik, menunjukkan adanya keresahan di kalangan masyarakat terhadap proses pencalonan yang ada.
Titi menilai bahwa fenomena calon tunggal pada Pilkada 2024 bukanlah sekadar agenda lokal, melainkan ekses dari agenda elite nasional. Dia menuturkan bahwa calon tunggal di pilkada bukan hanya masalah daerah atau demokrasi lokal di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tetapi juga hasil dari propaganda politik nasional.
Titi menyebutkan bahwa fenomena calon tunggal saat ini memiliki pola dengan memborong dukungan mayoritas partai politik, mulai dari 12 hingga 18 dukungan. Meski demikian, dia mengatakan bahwa fenomena ini sempat terselamatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah.
