Jakarta – Terpilihnya Hakim Agung Sunarto sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) disambut dengan optimisme oleh berbagai kalangan, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sunarto dikenal sebagai sosok hakim yang bersih dan jauh dari intervensi, sehingga diharapkan dapat membawa perubahan positif bagi lembaga peradilan tertinggi di tanah air.
Anggota KY, Prof Amzulian, mengungkapkan harapannya agar Sunarto dapat membawa MA menjadi lembaga peradilan yang agung dan semakin dipercaya oleh publik.
“Terpilihnya Prof Sunarto sebagai Ketua MA menjadi angin segar bagi penegakan hukum yang berkeadilan serta bebas dari intervensi. Harapannya, semoga MA menjadi badan peradilan yang benar-benar dipercaya publik,” ujar Amzulian.
Tidak hanya KY, para akademisi, pakar hukum, dan pegiat antikorupsi juga menaruh harapan besar pada Sunarto. Mereka melihat Sunarto sebagai benteng terakhir dalam mencari keadilan di tengah berbagai tantangan yang dihadapi MA.
Tantangan Bebas Intervensi dalam Penanganan Kasus Di tengah harapan yang tinggi, para pakar hukum mengingatkan Sunarto untuk tetap bebas dari intervensi dalam menangani kasus-kasus hukum.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah Peninjauan Kembali (PK) mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming. Sunarto diharapkan dapat menggunakan hukum dengan tepat dan nuraninya dalam memproses perkara ini, mengingat adanya dugaan kuat bahwa kasus Maming sengaja direkayasa.
Para pakar hukum, seperti Prof Romli Sasmita dari Universitas Padjadjaran, menilai adanya kesesatan hukum dalam putusan hakim terhadap Mardani H Maming. Prof Romli menegaskan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan Maming tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih pada imajinasi penegak hukum.
“Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius,” tegasnya.
Senada dengan Prof Romli, Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH, juga meminta agar Mardani H Maming segera dibebaskan karena adanya kekhilafan hakim. Ia menyoroti beberapa kekeliruan dalam putusan pengadilan yang mengadili Maming, terutama terkait unsur menerima hadiah yang tidak terpenuhi.
Dukungan terhadap pembebasan Maming juga datang dari akademisi Universitas Gadjah Mada, Dr. Hendry Julian Noor S.H., M.Kn, dan tim Hukum UGM. Mereka berpendapat bahwa bukti-bukti yang diajukan jaksa penuntut umum tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi. Salah satu poin penting yang dikritisi adalah penerapan Pasal 12 huruf b UU Tipikor, yang dinilai mengaburkan batas antara tindakan administratif dan tindak pidana korupsi.
Desakan untuk membebaskan Maming semakin menguat setelah adanya eksaminasi putusan hakim dan temuan kekhilafan serta kesalahan hakim saat memberikan vonis. Dr. Mahrus Ali, pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, menilai bahwa Mardani H Maming tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan, sehingga harus dibebaskan demi hukum dan keadilan.
“Koreksi putusan menjadi penting, ini tidak hanya untuk Maming, tapi untuk mempertebal rasa kepercayaan publik pada Mahkamah Agung,” jelas Mahrus Ali.
Dengan terpilihnya Sunarto sebagai Ketua MA, harapan besar tertuju padanya untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan merdeka, serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia. (*)