NEW YORK, – Harga minyak mentah mengalami penurunan dalam perdagangan yang bergejolak pada Senin (6/1/2025). Penurunan ini dipicu oleh data ekonomi yang lemah dari Amerika Serikat (AS) dan Jerman, meskipun terdapat dukungan dari pelemahan dolar AS serta proyeksi peningkatan permintaan energi akibat badai musim dingin.
Menurut laporan dari Reuters, setelah mengalami kenaikan selama lima hari berturut-turut, harga minyak mentah Brent turun 21 sen atau 0,3% menjadi US$ 76,3 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 40 sen atau 0,5%, menjadi US$ 73,56 per barel.
Meskipun mengalami penurunan, kedua patokan minyak mentah tersebut tetap berada di wilayah teknis jenuh beli untuk hari ketiga berturut-turut. Pada Jumat (3/1/2025), Brent mencapai level tertinggi sejak 14 Oktober, dan WTI ditutup pada level tertinggi sejak 11 Oktober. Kenaikan ini sebagian didorong oleh ekspektasi stimulus fiskal untuk menghidupkan kembali ekonomi China yang lesu.
Minat perdagangan energi yang meningkat dalam beberapa pekan terakhir terlihat dari lonjakan minat terbuka pada kontrak berjangka WTI di Bursa New York, yang mencapai 1,933 juta kontrak pada Jumat, tertinggi sejak Juni 2023.
Menurut analis dari Eurasia Group, pasar minyak memasuki tahun 2025 dengan fundamental pasokan dan permintaan yang seimbang. Namun, harga tetap didukung oleh ketegangan geopolitik yang berkelanjutan.
Di AS, sebagai ekonomi terbesar dunia, pesanan baru untuk barang-barang manufaktur mengalami penurunan pada November di tengah melemahnya permintaan pesawat komersial. Pengeluaran bisnis untuk peralatan juga tampak melambat pada kuartal keempat, berdasarkan data dari Biro Sensus Departemen Perdagangan.
Sementara itu, di Jerman, ekonomi terbesar Eropa, inflasi tahunan naik lebih tinggi dari perkiraan pada Desember. Kenaikan ini disebabkan oleh harga makanan yang meningkat dan penurunan harga energi yang lebih kecil dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Untuk mengatasi inflasi yang lebih tinggi, bank sentral sering menaikkan suku bunga, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.
Sebelumnya, harga minyak sempat naik akibat badai musim dingin yang melanda AS, yang menyebabkan lonjakan harga gas alam sebesar 10% pada Senin dan harga bahan bakar diesel mencapai level tertinggi sejak 7 Oktober.
Harga minyak juga mendapat dukungan awal dari pelemahan dolar AS sebesar 1,1% terhadap sekeranjang mata uang lainnya. Hal ini terjadi setelah laporan bahwa Presiden terpilih Donald Trump mempertimbangkan tarif yang hanya akan diterapkan pada impor kritis. Langkah tersebut dianggap dapat memberikan kelegaan bagi negara-negara yang mengkhawatirkan penerapan tarif lebih luas. Namun, penurunan dolar AS ini sebagian besar terhapus setelah Trump membantah laporan tersebut.
Pelemahan mata uang AS membuat komoditas yang dihargai dalam dolar, seperti minyak, menjadi lebih murah bagi pembeli dengan mata uang lainnya. Di China, ekonomi terbesar kedua dunia, yuan menutup sesi domestik pada level terlemah dalam 16 bulan terhadap dolar AS, tertekan oleh kekhawatiran perdagangan.
Sebagai tanda ekspektasi permintaan yang lebih kuat, Saudi Aramco, eksportir minyak terbesar dunia, menaikkan harga minyak mentah untuk pembeli Asia pada Februari, untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir.
Sementara itu, Sudan mencabut force majeure yang hampir berlangsung selama setahun pada transportasi minyak mentah dari Sudan Selatan ke pelabuhan Laut Merah setelah kondisi keamanan membaik.