Jakarta – Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, Budi Arie Setiadi, tengah menghadapi desakan publik yang masif untuk mengundurkan diri setelah serangan ransomware besar-besaran yang mengacaukan pusat data nasional. Serangan ini berdampak pada lebih dari 200 institusi, termasuk lembaga pemerintah.
Petisi yang menuntut pengunduran diri Budi Arie telah ditandatangani oleh lebih dari 18.500 warga Indonesia sejak diluncurkan minggu lalu oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
“Sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan data dan informasi, termasuk keamanannya, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga harus bertanggung jawab atas serangan ransomware saat ini,” demikian bunyi petisi tersebut.
“Untuk alasan ini, Budi Arie harus mundur sebagai bentuk tanggung jawab dan meminta maaf secara publik atas situasi ini.”
Hingga saat ini, Budi Arie belum memberikan tanggapan petisi tersebut. “Itu adalah hak publik untuk berpendapat,” tambahnya.
Petisi untuk pengunduran diri Budi Arie diluncurkan di platform Change.org dan dikirimkan ke Kementerian Komunikasi Indonesia serta Presiden Joko Widodo.
SAFEnet, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan di Bali pada tahun 2013, mempromosikan hak digital, mengorganisir pelatihan keamanan untuk kelompok rentan di Indonesia dan Asia Tenggara, serta memantau kebebasan berekspresi di internet. Organisasi ini juga bekerja sama dengan kelompok hak digital lainnya di Asia Tenggara dalam isu-isu seperti sensor, pengawasan, dan akses internet.
Dalam petisi terbarunya, SAFEnet mengkritik pejabat Indonesia karena membiarkan gangguan terhadap layanan penting, termasuk imigrasi dan operasi di bandara utama, serta tidak mengkomunikasikan situasi ini dengan baik kepada publik.
“Pemerintah sebagian besar diam dan tidak transparan tentang apa yang terjadi,” kata petisi tersebut.
Dalam insiden tersebut, Pusat Data Nasional Sementara Indonesia (PDNS) dilaporkan terinfeksi oleh Brain Cipher, varian baru dari ransomware terkenal LockBit 3.0, awal minggu lalu. Para peretas menuntut tebusan sebesar $8 juta untuk mendekripsi data tersebut, tetapi pemerintah Indonesia menolak untuk membayar.
Pejabat belum mengungkapkan apakah ada informasi yang sudah bocor atau apakah mungkin untuk memulihkan data yang terenkripsi, yang bisa mencakup data populasi seperti nama, alamat, dan nomor identitas pribadi, serta informasi spesifik industri tentang program kesehatan nasional dan kurikulum pendidikan.
Penyelidikan atas insiden ini masih berlangsung. Serangan ini digambarkan sebagai yang terburuk di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.