Jakarta – Istilah ‘tone deaf’ belakangan ini kembali menjadi perbincangan hangat di media sosial. Istilah ini digunakan untuk melabeli seseorang yang dianggap tidak peka terhadap isu-isu yang sedang ramai diperbincangkan.
Psikolog klinis Ella Titis Wahyuniansari menjelaskan bahwa secara harfiah, ‘tone deaf’ berarti tuli nada. Dalam konteks musik, istilah ini merujuk pada mereka yang kesulitan membedakan atau menyanyikan nada dengan tepat. Namun, dalam konteks sosial, ‘tone deaf’ memiliki makna yang lebih luas.
Menurut Ella, ‘tone deaf’ juga bisa berarti seseorang yang tidak peduli dan tidak ingin mendengar tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya. “Seseorang yang ‘tone deaf’ cenderung menutup dirinya dari orang lain dan tidak peduli dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya,” jelas Ella.
Ella menambahkan bahwa sikap ‘tone deaf’ dapat memicu beberapa gangguan psikis. Oleh karena itu, penting untuk segera menyadari dan mencari solusi atas sikap ini. Salah satu cara yang disarankan adalah dengan mulai membuka diri dan lebih peka terhadap lingkungan sekitar.
Untuk menghindari dicap sebagai sosok yang ‘tone deaf’, Ella menyarankan agar seseorang harus bisa menempatkan dirinya di posisi orang lain. “Empati adalah kunci untuk mengatasi sikap ‘tone deaf’. Dengan mencoba memahami perasaan dan perspektif orang lain, kita bisa menjadi lebih peka dan responsif terhadap isu-isu yang ada,” tambahnya.