Jakarta – Kremlin pada Selasa (27/8/2024) menyatakan bahwa Prancis telah melayangkan tuduhan yang “sangat serius” terhadap CEO platform berbagi pesan Telegram, Pavel Durov. Moskow memperingatkan Prancis untuk tidak mencoba mengintimidasi Durov, setelah taipan teknologi tersebut ditangkap di bandara Paris saat minggu lalu.
Jaksa penuntut Prancis menuduh miliarder berusia 39 tahun tersebut, Pavel Durov, gagal menangani penyebaran konten ilegal di platform Telegram, sebuah tuduhan yang ditolak keras oleh perusahaannya. Telegram menegaskan bahwa mereka selalu berkomitmen untuk mematuhi hukum dan regulasi di setiap negara tempat mereka beroperasi.
Pada Senin (26/8/2024), Presiden Prancis Emmanuel Macron menepis anggapan bahwa penangkapan Durov bermuatan politik. Sementara itu, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menekankan bahwa tuduhan tersebut harus didukung oleh bukti yang kuat untuk menghindari persepsi sebagai upaya membatasi kebebasan berkomunikasi dan mengintimidasi pimpinan perusahaan besar.
Penahanan Durov yang diperpanjang hingga Rabu (28/8/2024) menimbulkan spekulasi dan kekhawatiran di kalangan pendukung kebebasan berkomunikasi dan privasi digital, mengingat waktu dan kondisi penahanannya yang dianggap mencurigakan.
Selain menjadi warga negara Rusisa, Pavel Durov memiliki paspor Prancis. Dalam siaran persnya, Telegram menyebutkan bahwa pendirinya memiliki “kewarganegaraan ganda Uni Emirat Arab (UEA) dan Prancis.” Hal ini menambah kompleksitas kasus yang sedang dihadapi Durov, mengingat keterlibatan beberapa negara dalam urusan diplomatik ini.
UEA pada Selasa (27/8) mengatakan bahwa mereka telah meminta bantuan konsuler untuk miliarder tersebut dan sedang mengikuti perkembangan kasusnya dengan seksama. UEA menegaskan komitmennya untuk melindungi warganya dan memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati di negara lain.