Jakarta – Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Prof Yos Johan Utama, melontarkan kritik tajam terhadap keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman kepada Mardani H Maming. Menurutnya, pasal yang digunakan untuk menjerat Mardani perlu ditinjau ulang karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Prof Yos Johan Utama menyoroti pasal 93 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan yang digunakan untuk mendakwa Mardani H Maming, mantan Ketua Umum PB Hipmi. Ia menilai bahwa pasal tersebut seharusnya ditujukan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan kepada pihak yang memberikan izin.
“Dalam pasal tersebut, yang dilarang adalah pemegang IUP dan IUPK,” jelas Prof Yos dalam sebuah talk show di CNN. “Jika demikian, larangan tersebut seharusnya ditujukan kepada pemegang izin, bukan kepada pemberi izin,” tambahnya.
Prof Yos menegaskan bahwa dalam kasus Mardani H Maming, yang saat itu menjabat sebagai Bupati, perannya adalah sebagai pemberi izin, bukan pemegang izin. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa putusan hakim perlu dikaji ulang karena Mardani tidak seharusnya dijerat dengan pidana berdasarkan pasal tersebut.
“Ini perlu dikaji ulang, mengapa larangan yang seharusnya untuk pemegang dikenakan kepada pemberi izin?” tanyanya.
Lebih lanjut, Prof Yos menjelaskan bahwa dalam hukum, tidak semua larangan yang ditujukan kepada seseorang dapat diterapkan kepada orang lain. “Tidak semua larangan berlaku mutatis mutandis untuk orang lain,” tegasnya.
Sebagai analogi, Prof Yos menggambarkan situasi di mana mahasiswa dilarang memindahkan kursi, namun dekan tidak dilarang melakukan hal yang sama. “Apakah dekan juga dilarang memindahkan kursi? Kan tidak,” ujarnya.
Kritik yang disampaikan oleh Prof Yos Johan Utama ini menyoroti pentingnya penerapan hukum yang tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kasus Mardani H Maming menjadi contoh bagaimana pentingnya meninjau kembali pasal yang digunakan dalam proses peradilan agar keadilan dapat ditegakkan dengan benar.