Jakarta – Dalam pusaran politik yang penuh gejolak, Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muzammil Yusuf, melontarkan kritik pedas terhadap cara pembentukan undang-undang yang dinilai serampangan. Muzammil menekankan urgensi pelibatan partisipasi publik dalam setiap fase pembentukan undang-undang, agar proses legislasi dapat berlangsung lebih transparan dan akuntabel.
Muzammil mengungkapkan keprihatinannya terhadap praktik pembentukan undang-undang sepanjang periode 2019-2024 yang dinilai terlalu terburu-buru. Ia menyoroti pembahasan tingkat pertama Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada yang dilakukan dalam waktu kurang dari 12 jam. Proses yang tergesa-gesa ini, menurut Muzammil, telah mencoreng citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mata publik.
Proses pembahasan RUU Pilkada yang cepat ini mendapat kritikan tajam dari masyarakat. Banyak pihak menilai bahwa pembahasan yang dilakukan tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai tidak mencerminkan prinsip demokrasi yang sehat. Respon dari masyarakat pun diwujudkan dalam bentuk demonstrasi di berbagai kota di Indonesia, menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap proses legislasi yang dianggap tidak transparan.
Salah satu poin kontroversial dalam RUU Pilkada adalah ketentuan mengenai batas maksimal usia pencalonan kepala daerah. RUU tersebut mengusulkan agar batas usia pencalonan dihitung pada hari pelantikan, yang dinilai sebagai upaya untuk menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU/XXII/2024. Putusan MK tersebut sebelumnya telah mempertegas bahwa batas usia pencalonan harus dihitung pada hari pendaftaran.
Muzammil menegaskan bahwa pelibatan publik dalam proses pembentukan undang-undang sangat penting bagi setiap fraksi dalam mengambil keputusan yang tepat. Dengan melibatkan masyarakat, diharapkan keputusan yang diambil dapat lebih mencerminkan aspirasi dan kebutuhan publik. Namun, ia menyayangkan bahwa selama ini DPR belum sepenuhnya melibatkan partisipasi publik dalam proses legislasi.