*PRESS RELEASE*
Jakarta – Perseteruan hukum antara Mitora Pte. Ltd, perusahaan asal Singapura, dengan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, yang pemiliknya adalah keluarga Cendana, kian memanas. Kali ini, nama Dirjen Bea Cukai (1991-1998) Soehardjo Soebardi mencuat sebagai pihak yang akan menghadapi tuntutan hukum terkait sengketa utang senilai Rp104 miliar.
Executive Assistant Director Mitora, Deny Ade Putera, memberikan pernyataan tegas terkait langkah hukum ini. Soehardjo terlibat melalui penandatanganan surat tugas pada 2019 yang mengakui kewajiban pembayaran sebesar Rp104 miliar oleh Yayasan Purna Bhakti Pertiwi kepada Mitora. Namun, hingga saat ini, Yayasan baru membayarkan Rp30 miliar, menyisakan utang sebesar Rp74 miliar.
“Sebenarnya pelaksanaan kerjasama yang tidak bisa dilaksanakan karena pihak Yayasan sendiri yang tidak mau membentuk PT bersama, itu adalah kewajiban Yayasan seharusnya, tetapi tidak dilaksanakan,” ujar Deny
“Kami tidak akan tinggal diam menghadapi upaya pengaburan fakta hukum ini bahkan manipulasi. Semua ini terjadi karena pak Soehardjo, Setiap pihak yang mencoba menghindar dari tanggung jawab akan kami tuntut, termasuk keluarga Cendana yang berada di balik Yayasan. Kami hanya ingin keadilan ditegakkan,” ujarnya.
Selain itu, Surat tugas itu menjadi bukti kuat bahwa ada pengakuan utang. Hingga kini, tanggung jawab atas sisanya belum dipenuhi, dan Soehardjo sebagai salah satu pihak yang terlibat tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban hukum.
“Dalam Putusan BANI Nomor 47013/II/ARB-BANI/2024 telah memenangkan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dan menyatakan Mitora wanprestasi. Kami nyatakan bahwa Ada banyak pelanggaran prosedur yang jelas dalam Putusan BANI. Bahkan, biaya perkara BANI yang seharusnya menjadi tanggung jawab Mitora justru dibayarkan oleh Yayasan. Ini mencerminkan adanya rekayasa yang sistematis,” tegasnya.
Kasus ini kini diarahkan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan putusan BANI. Selain itu, Mitora membuka peluang tuntutan hukum terhadap individu yang terlibat, termasuk Soehardjo Soebardi.
Deny juga menyoroti keberanian Mitora melawan nama besar di balik Yayasan.
“Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal prinsip dan integritas hukum. Kami yakin hukum di Indonesia masih memihak pada kebenaran, selama prosedur dan kejujuran diutamakan,” tambahnya.
Kami percaya sistem hukum Indonesia, dengan segala perangkatnya, mampu mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan atas kasus ini. Tidak ada seorang pun, termasuk pihak-pihak besar, yang bisa lolos dari tanggung jawab hukum.
Pihak Mitora kini sedang melakukan gugatan ke BANI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan putusan BANI dan melanjutkan upaya hukum terhadap Yayasan Purna Bhakti Pertiwi serta individu terkait seperti Eks Dirjen Bea Cukai Soehardjo.
Hal ini sesuai dengan semangat dan komitmen penegakan hukum di era Presiden Prabowo dengan perbaikan sistem hukum dan kesejahteraan hakim sebagai pilar penting dalam membangun negara yang bebas korupsi.
“Kunci dari negara yang maju, dari negara yang baik, dari negara yang bebas korupsi, kuncinya adalah hakim-hakim tidak boleh dibeli. Karena itu, hakim-hakim harus kuat dan kondisinya harus baik yang terbaik yang bisa kita upayakan,” ujar Prabowo melalui sambungan telepon di rapat, gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2024).