Jakarta – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan bahwa industri manufaktur Indonesia sedang mengalami penurunan kinerja yang signifikan. Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan bahwa terjadi anomali di Indonesia, di mana kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun, meskipun negara ini belum mencapai status negara maju.
Menurut Amalia, Indonesia pernah berjaya dalam sektor manufaktur. Pada tahun 2002, kontribusi sektor ini terhadap PDB mencapai 32 persen. Namun, prestasi tersebut kini hanya tinggal kenangan. Data Bappenas menunjukkan bahwa kontribusi industri manufaktur terus menurun dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2020, laju pertumbuhan PDB manufaktur tercatat minus 2,93 persen dengan kontribusi 19,88 persen. Pada tahun 2021, meskipun laju pertumbuhan naik menjadi 3,39 persen, kontribusinya turun menjadi 19,25 persen. Pada tahun 2022, laju pertumbuhan meningkat menjadi 4,89 persen dengan kontribusi 18,34 persen, dan pada tahun 2023 tumbuh 4,64 persen dengan kontribusi 18,67 persen. Hingga kuartal I-2024, laju pertumbuhan tercatat 4,13 persen dengan kontribusi 19,28 persen.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menegaskan bahwa penurunan kinerja manufaktur memiliki dampak serius bagi perekonomian dalam negeri, terutama dari sisi tenaga kerja. Menurutnya, revolusi industri yang terjadi 200 tahun lalu dimulai dengan penemuan mesin uap dan perkembangan sektor manufaktur, terutama tekstil. Oleh karena itu, evolusi teknologi dalam sektor manufaktur sangat berpengaruh besar dalam menentukan kemajuan sebuah negara.
Ronny menambahkan bahwa jika kinerja manufaktur dalam negeri terus menurun tanpa ada upaya dari pemerintah, maka akan semakin sulit bagi Indonesia untuk mencapai status negara maju.
Ronny mencatat beberapa penyebab utama penurunan kinerja manufaktur di Indonesia. Pertama, ketertinggalan teknologi yang membuat biaya produksi semakin mahal dan produk menjadi kurang kompetitif. Kedua, minimnya dukungan nyata dari pemerintah, seperti pemberian insentif yang memungkinkan pelaku usaha meningkatkan teknologi mereka. Ketiga, kebijakan dagang yang kurang terukur mengakibatkan produk impor membanjiri pasar dalam negeri. Keempat, minimnya dukungan terhadap aktivitas riset dan pengembangan produk-produk dalam negeri.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, juga menyoroti dampak penurunan kinerja manufaktur terhadap kondisi tenaga kerja di Indonesia. Menurut Bhima, jika tidak ada langkah perbaikan dari pemerintah, jumlah pengangguran di dalam negeri, terutama pada usia muda (15-29 tahun), akan semakin tinggi. Pada tahun 2023, tingkat pengangguran usia muda di Indonesia mencapai 13,9 persen, yang merupakan angka tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Malaysia (12,5 persen), Filipina (6,9 persen), Thailand (5,3 persen), Timor Leste (3,2 persen), dan Vietnam (6,2 persen).
Ronny menekankan bahwa pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi berbagai persoalan yang menyebabkan mandegnya perkembangan sektor manufaktur. Langkah-langkah tersebut meliputi peningkatan teknologi, pemberian insentif kepada pelaku usaha, kebijakan dagang yang lebih terukur, serta dukungan terhadap riset dan pengembangan produk dalam negeri.