Jakarta – Badan Penerimaan Negara (BPN) dinilai tidak cukup untuk mewujudkan ambisi Prabowo Subianto dalam menaikkan rasio pajak Indonesia hingga 23 persen. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) telah melakukan analisis mendalam mengenai peluang Prabowo mencapai target tersebut. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menyatakan bahwa BPN tidak cukup efektif dalam meningkatkan tax ratio.
INDEF mengidentifikasi tiga dinamika utama dalam wacana pembentukan BPN. Pertama, tahap pembentukan atau setting regulasi. Kedua, tahap penyesuaian kelembagaan. Ketiga, tahap konvergensi atau divergensi kelembagaan. Menurut Dhenny Yuartha, proses ini memerlukan waktu yang tidak sebentar, dengan estimasi paling cepat antara 5 hingga 10 tahun agar BPN dapat mulai beroperasi.
Tax ratio menjadi salah satu fokus utama presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto. Ia mengkritik ‘kutukan’ Indonesia yang hanya mampu mencapai rasio pajak sekitar 10 persen dalam beberapa tahun terakhir. Prabowo yakin bahwa Indonesia bisa meningkatkan capaian tersebut hingga setidaknya 16 persen, setara dengan Thailand. Salah satu strategi yang diusulkan adalah memperluas basis perpajakan atau jumlah wajib pajak di Indonesia, bukan hanya dengan menaikkan pajak.
Pembentukan BPN merupakan salah satu cara Prabowo untuk mencapai targetnya. Ini tercantum dalam ‘8 Program Hasil Terbaik Cepat’ yang menjadi fokus Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka. Pembentukan BPN bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, baik dari pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ada kemungkinan bahwa Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu dan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu akan dilebur menjadi satu.
Meski demikian, belum ada kejelasan lebih lanjut dari Prabowo-Gibran mengenai apakah wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara akan tetap dilaksanakan atau tidak. Hal ini masih menjadi tanda tanya besar di kalangan publik dan para pengamat ekonomi.