Jakarta – Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, kembali mengangkat pidato Presiden Joko Widodo yang disampaikan empat setengah tahun lalu. Hasto menuduh bahwa pidato tersebut menunjukkan keinginan Jokowi untuk menggunakan penegak hukum demi kekuasaan.
Menurut Hasto, pernyataan Jokowi tersebut berbahaya bagi demokrasi dan tidak bijak disampaikan oleh seorang presiden, meskipun pidato itu disampaikan pada November 2019.
Pada Sabtu, 17 Agustus, Hasto memutar rekaman suara Jokowi yang dinilainya menggunakan penegak hukum untuk intimidasi. Pernyataan tersebut diketahui disampaikan Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, pada 13 November 2019.
Tudingan Hasto tersebut telah dibantah oleh pihak Istana. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, menjelaskam bahwa tudingan yang dikatakan Hasto tidak benar. Ari menjelaskan bahwa konteks pernyataan Jokowi dalam acara lima tahun lalu itu adalah agar tidak ada pihak yang main-main dan menghalangi agenda besar pemerintah lima tahun ke depan, seperti penciptaan lapangan kerja dan perbaikan kinerja ekspor serta impor yang semuanya adalah untuk kepentingan bangsa dan negara.
Merespons bantahan tersebut, Hasto mengklaim memiliki cukup fakta untuk membuktikan tudingannya terhadap Jokowi. Dia menyebut, misalnya, ketika presiden mengundang penjabat kepala daerah di Istana Negara, Jakarta, pada Oktober 2023. Di forum itu, presiden menyebut bakal mengevaluasi secara harian penjabat kepala daerah sehingga dia mengingatkan untuk tidak ‘miring-miring’ dalam bertugas. Jokowi menegaskan akan mencopot penjabat kepala daerah yang ‘miring-miring’ tersebut.
Hasto memandang imbauan Jokowi kepada penjabat kepala daerah tersebut sebagai intimidasi presiden yang menggunakan kekuasaannya. Dia menyoroti adanya sejumlah penjabat kepala daerah yang diganti presiden ketika Pemilu 2024. Hasto menilai, Jokowi memakai kekuasaannya untuk merotasi penjabat kepala daerah yang tidak menuruti kepentingan politik elektoralnya.
Pada Pemilu 2024 lalu, Jokowi kerap dituding melancarkan cawe-cawe politik untuk memenangkan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka. Dalam hasil persidangan sengketa Pilpres 2024 lalu, politisasi bansos dan mobilisasi aparatur disinggung dan diperkuat lewat dissenting opinion dari tiga hakim Mahkamah Konstitusi. Namun, MK memutuskan Jokowi tidak terbukti melakukan intervensi dalam pemilu.
Tudingan ini juga telah dibantah oleh dua anak buah Jokowi. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengelakkan isu rotasi penjabat kepala daerah untuk memuluskan jalan Presiden Jokowi dalam cawe-cawe di Pilkada 2024. Senada, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menjelaskan pergantian penjabat gubernur sejumlah provinsi murni merupakan tata kelola pemerintahan dan tidak ada unsur politis.