Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan monumental yang menuntut pemisahan aturan ketenagakerjaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Keputusan ini menyoroti urgensi pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa pemisahan ini diperlukan untuk menghindari tumpang tindih norma antara UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan yang sudah ada. Terutama, hal ini penting pada aspek-aspek yang mengalami perubahan dalam UU 6/2023. MK menilai bahwa norma-norma baru dalam UU Cipta Kerja sulit dipahami oleh masyarakat umum dan pekerja. Jika dibiarkan, hal ini dapat menyebabkan tata kelola dan hukum ketenagakerjaan terjebak dalam ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.
Keputusan tersebut ada pada perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), dan berbagai konfederasi buruh lainnya. Dalam putusan setebal 687 halaman tersebut, MK mengabulkan beberapa permohonan uji materiil dan meminta supaya segera dibentuk UU ketenagakerjaan yang baru dan terpisah dari UU Cipta Kerja.
MK menguraikan enam klaster dalil permohonan dalam putusan ini, yang mencakup penggunaan tenaga kerja asing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya, upah, pemutusan hubungan kerja, dan kompensasi. Para hakim konstitusi menyatakan bahwa dengan adanya UU baru, masalah ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan substansi ketenagakerjaan dapat diatasi.
MK juga membahas jangka waktu PKWT yang saat ini ditetapkan selama lima tahun. Norma tersebut tertuang dalam Pasal 56 ayat (3) UU 6/2003 dan dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian perlindungan hukum. MK menyatakan bahwa dalil permohonan terkait PKWT ini beralasan secara hukum untuk sebagian.
Terkait tenaga kerja asing, MK menegaskan pentingnya memperhatikan prioritas bagi tenaga kerja Indonesia dalam norma Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan bahwa penggunaan frasa “hanya dalam” pada ketentuan ini dapat menimbulkan ketidakpastian. MK mengabulkan sebagian dalil pemohon dan menekankan pentingnya pengutamaan tenaga kerja Indonesia dalam ketentuan tersebut.
Dalam aspek alih daya, MK meminta supaya jenis pekerjaan yang dapat dialihkan lewat alih daya harus ditentukan oleh menteri untuk memberikan kejelasan dan perlindungan hukum bagi pekerja alih daya. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menekankan bahwa kejelasan tersebut penting agar tidak terjadi konflik antara perusahaan dan pekerja mengenai status kerja dan hak-hak pekerja alih daya.
Putusan ini juga mencakup aspek waktu kerja lima hari, upah, dan ketentuan lainnya yang dianggap masih perlu diperjelas. MK berharap bahwa pemisahan UU ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja akan memperkuat kepastian dan keadilan bagi pekerja di Indonesia.